Sedih ketika mendapatkan pesan singkat dari seorang kolega yang menyatakan Presiden Ke-3 Republik Indonesia, Baharuddin Jusuf Habibie telah berpulang ke Rahmatullah, Rabu 11 September 2019, pukul 18.02 WIB. "Ah masa, jangan-jangan hoaks, sebab sehari sebelumnya berita serupa telah beredar di dunia maya dan pihak keluarga telah membantahnya, bahkan kondisinya mulai membaik," balasku pada kolega tadi.
Selang beberapa menit kemudian, kabar duka pun menggayut pada seluruh media nasional yang mengabarkan bahwa 'B.J Habibie, Presiden RI Ke-3 Telah Berpulang' , bahkan Presiden RI ke-7 pun telah membuat pernyataan resmi yang menyatakan Presiden Habibie Telah Berpulang.
Kontan, pikiran dan nuraniku kembali pada beberapa waktu lalu, saat kami berdiskusi panjang lebar soal berbagai kondisi sosial, ekonomi dan politik yang terjadi di Indonesia. Saat itu, beliau masih dalam kondisi duka ditinggalkan oleh Hasri Ainun Habibie yang lebih dahulu menghadap Allah SWT, sang penguasa segala-NYA.
Harus diakui bahwa kesempatan bertemu Eyang Rudy (begitu BJ Habibie minta dipanggil olehku) tidak mudah, sebab sebagai Presiden RI ke-3 birokrasi serta aturan protokoler yang ketat sebagai mantan orang nomor 1 di Indonesia masih berlaku untuk beliau.
Adalah Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir yang dalam beberapa kesempatan menemui Eyang Rudy untuk berdiskusi tentang kementerian yang dipimpinnya. Kebetulan saja, saat itu, aku selalu 'melekat' dengan Menristekdikti akibatnya dialog pun terjadi dalam beberapa kesempatan tersebut.
Eyang Rudy selalu menyatakan bahwa untuk dapat maju dan menjadi bangsa yang besar, Indonesia harus fokus dalam mengerjakan sesuatu. "Jika titik berat dalam bidang ekonomi, semua daya upaya hars difokuskan untuk tujuan tersebut. Begitu pula kalau ingin mengedepankan teknologi, artinya menjadi negara yang memiliki teknologi tinggi, kita (Indonesia) harus fokus," kata Eyang Rudy.
Indonesia, kata Eyang Rudy, merupakan negara besar yang tersebar dalam berbagai kepulauan besar dan kecil. Untuk menghubungkan satu titik dengan titik lainnya diperlukan sarana transportasi yang cepat dan hal itu hanya bisa dilakukan, jika kita memiliki sarana transportasi. "Sarana transportasi itu ya...pesawat yang mampu menjangkau berbagai wilayah Indonesia, bahkan hingga yang terdalam dan terkecil sekalipun," jelas Eyang Rudy.
Visi ini telah diserap oleh Presdien RI ke-2 Soeharto yang memanggil kembali Eyang Rudy dari Jerman untuk mengabdi pada tanah airnya, meski saat itu posisi Eyang Rudy telah mencapai top management dalam perusahaan pembuat pesawat di Jerman.
"Saya mau pulang asal diperkenankan membuat dan mengembangkan industri pesawat terbang sendiri. Tuntutan ini akhirnya disetujui oleh mantan Presiden Soeharto dan akhirnya berdirilah PT Nurtanio di Bandung," kata Eyang Rudy.
Seiriing dengan krisis moneter yang menerpa dunia internasional dan berimbas pada Indonesia, PT Nurtanio harus menghadapi kenyataan untuk menghentikan produksi sebelum akhirnya di restrukturisasi dan berubah nama menjadi PT Dirgantara Indonesia ---salah satu industri strategis yang dimiliki oleh Indonesia.
Permintaan berikutnya kepada pemerintah Indonesia adalah, soal pemakaman ibu Ainun di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata. "Saya setuju di Kalibata, jika saatnya nanti saya bisa dimakamkan di samping Ainun," jelas Eyang dan permintaan itu pun disetujui.