Lihat ke Halaman Asli

Ken Terate

Penenun Kata

Hobi Jadi Profesi, Oke Nggak, Sih?

Diperbarui: 9 April 2021   08:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Hobi Jadi Profesi. Oke Nggak, Sih?

"Pilih pekerjaan yang kamu cintai dan kamu tidak perlu kerja sehari pun sepanjang hidup." Confusius pernah berkata.

Saya suka membaca dan menulis dan akhirnya bergulat dengan kata-kata untuk mencari nafkah. Saya menulis novel, artikel, hingga copywriting. Saya juga menerjemahkan dan kadang-kadang me-review jurnal. Bagi saya ini seperti piknik dibayarin dan dikasih uang saku! Pokoknya nyenengin banget. Apa sih yang lebih membahagiakan dibanding bisa ngerjain hobi eh dapat duit pula! Ini yang membuat saya membayankan enaknya jadi seniman; penyanyi, pemusik, atau pelukis. Mereka bersenang-senang dan dibayar!

Apakah saya selalu senang dengan kerjaan saya? Nggak. Saat dihadang tenggat waktu, menulis, alih-alih menyenangkan, justru bikin stress. Begitu pula saat menggarap naskah yang sulit atau temanya bikin bosan. Apakah saya kapok dan jadi benci menulis? Nggak juga. Sejenuh-jenuhnya saya menulis, akhirnya saya bakal balik padanya, karena ada kerinduan yang muncul tanpa bisa dicegah. (Emang rindu bisa dicegah? Eaaa).

"Jangan jadikan hobimu jadi profesi. Nanti dia nggak nyenengin lagi."

Bagi beberapa orang, hobi haruslah tetap jadi hobi. Bila hobi jadi profesi --mau itu main musik, main bola, memasak, atau berkebun--- target, deadline, dan kalkulasi untung rugi bakal muncul. Akhirnya, alih-alih menikmati kita justru sibuk berpikir gimana biar menangguk untung. Ketika masih berlabel hobi, jangankan mikir untung, rugi juga dijabanin karena kita happy. Lah, kalau udah jadi bisnis? Rugi terasa haram banget.

Saya pernah baca seorang penulis skenario laris Hollywood (saya lupa namanya) yang akhirnya resign ketika namanya sedang melambung dan kekayaan meningkat drastis. Alasannya? Setelah masuk industri yang serba komersial, ia tak menemukan kesenangan dalam menulis --seperti awal yang ia rasakan dulu---. Ia bahkan didikte oleh produser yang tujuannya cuma mencetak duit. Pendeknya ia nggak bisa menulis sesukanya lagi.

Semua kaget dengan keputusannya. Tapi rupanya itu keputusan yang benar karena akhirnya ia menemukan kebahagian kembali. Yang murni tanpa embel-embel cuan.

Tapi tunggu, memangnya hobi kudu selamanya menyenangkan? Pekerjaan kudu membosankan?

Seperti semua hal dalam hidup, saya rasa nggak ada yang sepenuhnya hitam putih. Kadang sulit juga menarik garis tegas antara dua hal. Dalam kasus, ini pekerjaan dan hobi.

Saya menulis buat cari duit, namun ada kalanya saya nulis hanya sekadar buat bersenang-senang. Seperti menulis blog ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline