Lihat ke Halaman Asli

Ken Terate

Penenun Kata

Balada Anak Kedua

Diperbarui: 27 Januari 2021   18:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Suatu sore tanpa sebab yang jelas Ung (5 tahun, anak kedua saya) menangis. Air mata beningnya berurai di pipi. Seperti biasa, saya memeluknya.  Saya tenangkan ia dengan belaian dan pelan-pelan saya pancing ia untuk bercerita. Nggak ada cerita keluar. Paling bertengkar dengan kakanya, pikir saya. Sejenak tenang, Ung menangis deras kembali. "Kamu sakit?" tanya saya cemas.

"Nggak. Aku cuma iri Ang punya album bayi, aku nggak!"

Deg. Seketika saya dipenuhi rasa bersalah. Saya tahu sebelumnya mereka berdua melihat-lihat rak buku. Ung menarik satu buku tebal yang isinya tulisan tangan dan foto-foto. Foto-foto kakaknya. Itulah album bayi Ang (si sulung, 9 tahun) yang berisi jurnal bayinya. Apa yang ia makan pertama kali, kapan ia berjalan pertama kali dan mainan favoritnya waktu bayi. Ung nggak punya album semacam itu.

Beberapa waktu sebelumnya, ia meminta saya untuk mencetak foto-fotonya. Ini juga karena kami mencetak sebagian foto-foto kakaknya, sementara foto Ung --meski banyak tersimpan dalam bentuk file---blas belum ada yang kami cetak. Saya mengiyakan tapi lupa-lupa melulu. Tambah tebal rasa bersalah saya.

Esoknya segera saya mengorder album bayi lewat olshop, mengkompilasi beberapa foto Ung dari bayi sampai yang terbaru, lalu membawanya ke layanan cetak foto.

***

Saya bukan orang gemar mengumpulkan memorabilia. Juga bukan tipe crafty yang hobi menekuni pernak-pernak. Ada kan orang yang bisa membuat jurnal bayi dengan sangat cantik, menghiasnya dengan potongan perca selimut si bayi plus melengkapinya dengan cap tangan si kecil. Nah, saya nggak sempat mengurusi hal-hal semacam itu  (karena emang nggak tertarik).

Meski saya dulu menulis buku harian, kebiasaan itu lenyap saat saya kuliah. Pas saya melahirkan Ang sembilan tahun lalu, ada yang memberi kado album bayi tersebut. Daripada nggak kepakai, saya tulis lah apa yang saya ingat tentang si sulung itu. Kalau nggak ada kado itu, jelas Ang nggak bakal punya album bayi.

Tapi album bayi yang nggak sengaja dimiliki Ang itu ternyata menimbulkan masalah pada adiknya. Ung mengungkapkan emosinya dengan tepat: iri.

Tulisan berikut ini murni kisah saya yang sangat mungkin berbeda dari keluarga lain.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline