"Gue nggak suka drakor. Ceritanya menye-menye. Mana aktornya sama semua tampangnya. Plastik pula."
"Udah pernah nonton drakor apa?"
"Belum. Kan udah gue bilang gue nggak suka."
Eh.
***
"Icipi dulu. Setelah itu kamu boleh menolak bila memang kamu rasa nggak enak." Itu nasihat saya pada anak-anak tiap kali mereka menggeleng saat saya sodori makanan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
Mereka nurut walau dengan hidung mengernyit. "Eh ternyata enak!" Seru mereka terkadang. Namun, pernah pula mereka tetap menolak setelah mencoba beberapa gigit. "Kapan-kapan coba lagi. Siapa tahu yang ini kurang pas aja masaknya. Siapa tahu lidahmu besok lebih bisa menerima."
Kalau sudah mencoba lagi dan tetap nggak doyan, ya sudah. Yang penting sudah mencoba. Mencoba itu bagian dari upaya memperkaya diri. Karena tanpa mencoba, kapan kita dapat pengalaman baru?
Pernah saya baca artikel figur seorang chef di Kompas. Saya lupa namanya, namun saya ingat beliau bermarga Batak. Ia mengatakan kurang lebih begini, "Lidah kita nggak demokratis. Hanya terpaku pada masakan ibu. Begitu merasakan masakan yang alirannya beda, muntir itu lidah."
Haha, bener. Bahkan lidahnya mungkin udah muntir sebelum mencoba.
Chef ini bercserita tentang repotnya dia saat baru pindah dari Medan ke Jogja untuk kuliah. Semua masakan Jogja --yang memang beda banget dari masakan Medan---nggak bisa ia nikmati. Terus ia mikir, apa iya dia mau selamanya hanya menyantap makanan Medan aja?