Pendidikan Indonesia sedang diuji bertubi-tubi. Sudah jatuh tertimpa tangga, tak putus dirundung kekerasan. Belum selesai saya menulis soal kekerasan yang dilayangkan guru terhadap siswanya, eh ini ada kasus guru dikeroyok dan dihajar oleh siswa bersama bapaknya. Dan ini bukan satu-satunya kasus. Modusnya hampir sama: siswa ‘nakal’, dikerasi guru, siswa mengadu pada orangtuanya, orangtua nggak terima lalu lapor ke polisi/berlagak jadi polisi dan langsung menerapkan hukuman buat si guru.
Mendukung Kekerasan
Sebenarnya yang paling mengagetkan saya dari rentetan fenomena ini adalah: banyaknya pendukung kekerasan guru! Hah. Saya terperanjat betul bila membaca lini masa yang isinya kurang lebih, “Dulu kalau siswa dijewer guru terus mengadu ke ortu, boro-boro ortu membela, yang ada ortu ngasih bonus gamparan karena si anak udah melanggar aturan.” Atau “Siswa tidak boleh dikerasi, mau jadi apa nanti?” disertai gambar sekumpulan anak SD thenguk-thenguk sambil udat-udut –duduk-duduk dan merokok--. Atau poster bertuliskan “Kalau nggak terima dengan cara mendidik kami, didik saja anakmu sendiri.” (Terus pelaku homeschooling kayak saya nyaut, “Berresss.”)
Saya yakin banget para pendukung kekerasan tadi bila menemukan anaknya menangis sepulang sekolah dan mengadu tadi dipukul Pak Guru karena nggak mengerjakan PR, maka mereka bakal telepon si guru dan berkata, “Terima kasih Pak sudah mendisiplinkan anak saya. Lain kali kalau anak saya nggak ngerjain PR lagi, silakan pukul lebih keras.”
Lebih heran lagi Pak Menteri juga mendukung kekerasan ini dalam beberapa pernyataannya. Lhadalah, kok bikin geregetan tenan. Usai melempar gagasan full day school, beliau berkata “sanksi fisik dapat ditoleransi dalam batas tertentu”. Aduh, Pak, kalau bener full-day school dijalankan, bisa-bisa anak-anak dapat ‘sanksi fisik full-day’ juga. Batas tertentu itu apa? Di surat kabar saya baca seorang pejabat dinas pendidikan mengatakan ‘sanksi fisik boleh selama tidak menimbulkan trauma’. Lah, taunya nggak menimbulkan trauma itu piye? Saya pernah dijewer sama guru di TK gara-gara bertanya cara melipat origami. Sampai sekarang masih ingat tuh. Memang bukan trauma sih, tapi mangkel dan galau. Bertanya karena tidak mengerti kok malah dijewer.
Era Sebelumnya
Dulu, kata Bapak saya, anak-anak diminta meletakkan punggung tangan mereka di atas meja. Guru siap dengan tongkat dan begitu melihat kuku kotor, “tttaaarrrr!” tongkat melayang memukul punggung tangan. “Dan kami nggak ngapa-ngapa tuh. Biasa saja,” kata Bapak saya, “Nggak mengadu juga.”
“Terus, anak-anak menjadi baik nggak, Pi, setelah dikerasi?” tanya saya.
Bapak berpikir, lalu berkata, “Aku tidak begitu memperhatikan apakah hukuman itu ada efeknya. Tapi aku ingat, guru-guru yang mengubahku menjadi baik adalah guru-guru yang ramah dan penuh perhatian. Aku ingat yang membuatku rajin adalah guru yang berkata lembut ‘wah, kalau begini kamu nggak aka naik kelas’, saat aku lupa mengerjakan PR. Aku benar-benar merasa bersalah dan mendadak punya kesadaran waktu itu.”
Anak-Anak Cengeng?
Anak-anak masa kini dituduh tidak setangguh anak-anak era sebelumnya. Mereka dicap cengeng karena dikit-dikit mengadu ‘hanya’ karena ditampar guru. Benarkah? Kalau saya sih, saya pengin anak saya melapor pada saya setiap ada yang mengganggunya. Edan apa, saya biarkan anak saya menerima kekerasan dan diam saja! Mama macan gitu loh.