Lihat ke Halaman Asli

Ken Terate

Penenun Kata

Seni Bengong

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1410860663857163248

The art of doing nothing. Frasa itu saya dengar pertama kali dari seorang ekspat yang mengatakan tempat favoritnya di Indonesia adalah Lombok. “Di sana sepi, tak banyak yang bisa dilakukan kecuali duduk-duduk di tepi pantai yang indah sambil membaca. Seni bengong.”

The art of doing nothing, seni bengong. Bengong saja kok pakai seni. Sebegitukah pentingnya bengong?

Saya dulu sering heran kok bisa ada orang bengong. Di angkringan, ada saja orang yang bisa duduk-duduk berjam-jam tanpa teman dan nggak ngapa-ngapain! Pas nunggu antrian, pas nunggu kereta, banyak sekali orang yang bisa duduk atau berdiri nggak ngapa-ngapain. Tidak bercakap-cakap, tidak baca buku, tidak merajut, hanya membuang waktu. Ah, saya sudah mati kutu kalau begitu.

Masa kini gawai (gadget) jadi penyelamat saat kita mati gaya. Tapi saya masih sering melihat manusia-manusia bengong seperti itu.

Saya dan keluarga adalah manusia tak tahan bengong. Sambil makan saja kami baca koran. Eman-eman otak menganggur. Eman-eman waktunya.

Kala momong anak (main perosotan di TK sebelah misalnya) saya mengusahakan baca buku. Soalnya kalau tidak baca buku, bosan sakali rasanya. Saya tidak bawa tablet, tidak punya. Dan andai punya dan saya bawa, dijamin anak saya nggak bakal main perosotan, tapi ikut melototin gawai tadi. Sebenarnya anak saya pun kadang protes bila saya menungguinya sambil membaca. Ia lebih suka saya perosotan bersamanya. Tapi kan ya nggak mungkin. Perosotannya nggak muat. Tapi miminal, dia ingin saya memperhatikan dia, alih-alih memperhatikan buku. Bersorak kek, tepuk tangan kek, lompat-lompat kek, atau paling tidak duduk sambil mengamati. Hadir bersamanya. Itu sudah membuat dia merasa senang. Tapi yang mudah itu pun ternyata tidak mudah saya lakukan.

Bengong Itu Susah

Saya jadi gelisah. Kenapa sih, bengong nggak ngapa-ngapain terasa sangat susah bagi saya? Saya bisa blingsatan sendiri bila antri nggak bawa buku. Buku. Ya itu penyelamat saya. Gawai tak bisa menyelamatkan saya karena gawai saya itu hanya bisa buat SMS dan telepon, paling pol buat motret. Dulu kalau saya traveling saya selalu bawa buku bacaan dan teka-teki silang. Kalau bosen baca, bisa ganti ngisi TTS. Bosen TTS-an, bisa baca. Pokoknya jangan sampai mati gaya.

Kini saya jadi kagum pada orang yang bisa bengong. Saya kagum melihat bapak tua yang duduk-duduk di cakruk, nggak ngapa-ngapain. Saya kagum pada nenek yang duduk-duduk sambil mengawasi cucunya bermain dan hanya bangkit saat cucunya jatuh. Saya kagum pada orang yang duduk tenang di angkot, nggak ngapa-ngapain. Hanya melamun.

Karena ternyata nggak ngapa-ngapain itu penting. Saya belajar soal ini saat saresehan bersama Gobind Vashdev (siapa dia? google saja ya). Tidak banyak yang saya ingat dari saresehan itu, tapi ini yang salah satu yang tertinggal kuat di benak saya.

Dia memasang gambar seperti ini (tidak persis, tapi esensinya sama).

[caption id="attachment_359621" align="aligncenter" width="297" caption="Sumber gambar: blog.wm.edu"][/caption]

Nah, coba andai Anda mencari jalan keluar dari titik start. Gampang, kan? Gampanglah. Kalau nggak gampang, silakan balik ke TK hehe.

Tapi coba bayangkan Anda ada dalam labirin ini. Ada menjadi titik kecil di dalamnya. Dan Anda harus keluar. Hah, bisa seharian Anda putar-putar dan belum tentu ketemu.

[caption id="attachment_359622" align="aligncenter" width="227" caption="Sumber gambar: www.pinterest.com/phoebemums/mazes/"]

14108606971664674301

[/caption]

Itulah yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita terjebak atau mencemplungkan diri dalam labirin setiap saat. Betapa bising kita akan informasi yang tak pernah berhenti di internet, televisi, bahkan benda sekecil hape. Kita sibuk bersosialisasi, ke sana ke mari, bertemu banyak orang, bekerja tanpa henti.

Kita terseret ke dalam keriuhan dunia dan saat kita menghadapi masalah lalu butuh keluar, kita kebingungan. Lah, kita sendiri ada di dalamnya.

Ambil contoh teman saya A. Dia terjebak dalam love affair yang tidak fair. A punya pacar B. Masalahnya B adalah suami orang. A kebingungan karena masa depannya tidak jelas. B mengeluh soal istrinya yang kurang ini itu, tapi disuruh menceraikan juga tidak mau. Sementara A ingin menikah dan membangun keluarga.

Andai A bertanya apa Anda, “Apa yang harus kulakukan?” apa jawaban Anda? Tanpa berkedip pun Anda bisa menjawab, “Tinggalin B. Jelas dia cowok brengsek. Tukang selingkuh. Tidak bertanggung jawab.” Gampang, kan? Iya, gampang. Buat Anda. Tapi belum tentu gampang bagi A. Kenapa? Lah, A yang jatuh cinta. A-lah yang merasakan gimana sepinya hidup tanpa B. A-lah yang gampang apakah ada pria yang bakal menggantikan B andai mereka putus dan seterusnya.

Mudah sekali bagi kita yang tidak terjebak dalam labirin untuk melihat jalan keluar. Dan inilah yang kita butuhkan andai kita terjebak dalam labirin: mengambil jarak, melihat dari kejauhan, melihat dari luar.

Mari kita berlatih mengambil jarak di antara keriuhan. Ada yang melakukan ini dengan ibadah rutin (sholat misalnya), ada yang melakukannya dengan bengong di tepi sawah, ada juga yang melakukannya dengan meditasi.

Dalam kebengongan, sungguh pikiran akan di-restrat dalam kesuwungan, lalu pikiran jernih mulai timbul. Pelan-pelan ide akan keluar. Kalau kita punya masalah, jalan keluar akan tampak atau kalau pun tidak tampak, mungkin akan muncul perspektif baru: oh, bukan aku saja yang mengalaminya. Oh, sebenarnya masalahku nggak seberat yang kubayangkan. Oh, ini akan berlalu.

Dalam kasus saya, biasanya akan timbul ide untuk cerpen atau novel baru (meski ya, ide bisa muncul juga pas saya sibuk ini-itu). Kalau bukan ide baru, biasanya saya akan menemukan plot untuk menyambung plot novel saya yang sekian lama macet. Kalau novel yang saya tulis mandeg, yang perlu saya lakukan adalah mengendapkannya dulu beberapa saat, meninggalkannya sejenak, mengambil jarak.

Dalam kebengongan, saya bisa mengamati orang-orang. Saya mensyukuri anak saya yang kini sudah bisa merosot dalam berbagai gaya. Orang mengajak saya bicara. Orang itu saya jamin tak kan mengajak saya bicara bila saya menekuri hape atau buku. Selalu ada yang bisa saya petik dari obrolan yang tercipta dari kebengongan, misalnya,di mana bisa beli gorengan yang enak.

Jadi, mari bengong sejenak.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline