[caption id="attachment_399318" align="aligncenter" width="560" caption="Ilustrasi Kompasiana (Kampret/Yustinus Slamet Witokaryono)"][/caption]
“Ibu-ibu sekarang sering meninggalkan anaknya dengan alasan me time. Me time-nya jualan (sebut merk ala MLM di sini), ha ha ha.” Begitulah kata seorang praktisi pendidikan yang jadi pembicara dalam sebuah seminar.
Aduh, terkampleng benar saya. Bukan karena saya jualan MLM, tapi karena saya sering menginginkan me time. Me time ala saya: browsing facebook tanpa diganggu. Penting banget nggak sih? Masih mending yang jualan MLM itu, paling tidak mereka mencari uang. Siapa tahu mereka memang butuh uang.
Me time, me time. Entah siapa yang membuat istilah itu pertama kali. Tapi majalah dan tabloid selalu mengatakan ini hal yang wajib dimiliki oleh para ibu agar menjadi ibu yang baik. Tentunya ini disertai deretan contoh me-time ala tabloid: mandi berendam di bath tub, spa, kumpul sama temen-teman cewek, jalan-jalan di mal atau nongkrong di café. Anak sementara boleh dititipkan ke kakek-neneknya, kerabat, baby-sitter atau penitipan anak. Me time dua jam dijamin membuat badan dan pikiran langsung seger dan kita bisa kembali mengasuh anak dengan riang gembira. Fresh pokoknya.
Ah, yang bener? Andai hidup semudah itu.
Zaman Batu vs Zaman Internet
Tetangga-tetangga saya itu pada nggak ngerti apa itu me-time. Boro-boro bisa me-time, mandi aja belum tentu sempat. Lah, kalau punya anak empat, nggak punya pembantu, dan kadang masih harus cari duit, me-time dari mana?
“Ibu-ibu zaman dulu nggak pernah punya me-time dan mereka baik-baik saja,” kata saya.
“Ah, nggaklah, mereka sering marah-marah sama anaknya,” sanggah adik saya.
“Lah, memangnya ibu-ibu yang pada sering me-time itu kagak pernah marah-marah sama anaknya?”
Ibu-ibu zaman sekarang banyak yang bekerja dan meninggalkan anak di rumah. Mereka mengasuh anak sebelum dan sepulang kerja –itu pun kadang disambi ngecek facebook atau chatting lewat WA--. Eh, mereka juga masih minta me-time. Alasannya: dobel capek, capek di kantor dan capek di rumah.
Ibu-ibu zaman dulu kerja bawa anak, pulang kerja juga masih harus mengasuh anak. Yang kerja di sawah ya anaknya dibawa ke sawah, ditidurkan atau dibiarkan bermain di pinggir sawah. Yang jualan di pasar ya bawa anaknya ke pasar. Ayah saya pernah menjalani bermain di pasar dan tidur di kolong meja saat nenek berjualan di pasar dulu. Kebayang nggak sih ribetnya kerja sambil momong anak? (Atau malah asyik ya?)
Saya menyanding anak nyaris 24 jam sehari, tujuh hari seminggu. Tak ada hari libur, bahkan saat saya sakit. Apa saya butuh me-time? Ho ho banget. Kalau pas banyak kerjaan, ada deadline, dan anak rewel, huahaha, emosi bisa memuncak sampai ujung kepala. Saya berharap bisa nonton film sejenak sambil makan popcorn, meski pada kenyataan yang bisa saya lakukan adalah menarik napas dalam, sambil mensugesti diri sendiri: sabar, sabar, sabar.
Saya termasuk beruntung, lho, karena sering mendapat uluran dari suami, adik, dan pembantu rumah tangga.
Downside lain menjadi ibu rumah tangga fulltime adalah tidak ada orang dewasa yang bisa diajak ngobrol! Hedew, lidah udah gatel pengin nggosip… eh maksudnya ngobrolin topik yang lebih canggih dibanding ‘Ibu, kenapa semut makan rotiku?’, eh apa daya lawan ngobrol saya satu-satunya adalah anak berusia tiga setengah tahun.
Saya sampai bersemangat kalau ada acara arisan RT, meski tetap saja sih, saya mesti arisan RT sambil momong anak. Kadang sampai nggak tahu yang dapat arisan siapa. Mau gimana lagi, anak saya nggak mau ditinggal. Latihan Yoga saja, dia ikutan L. Tapi setidaknya dalam acara arisan ada manusia-manusia dewasa yang bisa diajak bergos… eh ngobrol sedikit intelek sambil liat demo panci.
Konspirasi Industri
Saya curiga ‘me time’ ini adalah hasil konspirasi industri yang juga meniupkan ide spa ibu hamil dan spa bayi.
Ibu hamil dan ibu yang pada punya anak, pada kerasa nggak sih kalau kita sering jadi sasaran pemasaran produk-produk yang agak nyleneh?
Sebut sajalah:
Spa kehamilan untuk meredakan punggung pegel dan membuat kulit glowing.
Photo session waktu hamil. Soalnya perempuan hamil itu seksi (katanya). Terima kasih untuk hiburannya.
Susu khusus buat ibu yang pengin hamil, ibu hamil tanpa muntah-muntah dan ibu hamil pakai muntah-muntah.
Pas lahiran pun ada tukang poto professional yang siap mengabadikan momen Anda dan si bayi baru yang berusia dua jam. Tentunya dengan layanan tukang make-up sekaligus, jadi mereka bisa tampak cantik di foto. Heran betul saya, soalnya setelah melahirkan dulu saya hanya merasa lepek dan rada stress karena belajar menyusui. Make-up? Sisir saja saya kayaknya nggak bawa. Photo session? Oh, saya hanya pengin tidur.
Begitu lahiran, ada deretan produk lain siap menanti mulai dari korset susut perut –dulu stagen-- sampai krim penghilang selulit. Jangan lupa ada spa bayi dan baby gym atau baby school –sekolah bayi—untuk menghasilkan bayi jenius. Wedeh, pantas ya otak saya pas-pasan banget, soalnya saya dulu sekolahnya sejak usia lima tahun alih-alih lima bulan.
Lucunya, biar produk dan layanan itu terdengar konyol –come on, masa bayi butuh sekolah agar pinter merangkak?--, para ibu merasa butuh.
Saya jadi ingat teori ekonomi yang bilang, ‘bukan kebutuhan yang mendorong lahirnya produk, tapi produklah yang mendorong lahirnya kebutuhan.’ Maaf, saya tidak tahu siapa pencetusnya, tapi saya mempercayainya.
Siapa di antara kita yang dulu sempat spa waktu bayi? Nggak ada, kan –wong waktu itu spa bayi belum ada--. Yang terjadi kita direndam di ember oval ditemani berbagai mainan sementara ibu mencuci. Tapi begitu ada spa bayi, kok ya mendadak kita merasa butuh mengirim bayi kita ke sana.
Siapa dulu yang butuh me time? Ya ampun, apa itu me time saja para ibu nggak mudeng. Tapi begitu tabloid dan majalah mengulas itu di artikel mereka, oh, astaga kayaknya kita butuh melesat ke starbucks, ngupi-ngupi tantik dengan para ibu lainnya yang juga nggak kalah tantik.
Tapi kini ada facebook. Akibatnya: orangtua butuh menengok hape atau laptop lima menit sekali. Siapa tahu ada yang mengganti status relationship mereka. Ada TV dengan berbagai saluran yang acaranya asyik. Akibatnya kita butuh nonton TV. Ada tawaran traveling yang lagi ngetren, so kita butuh traveling. Ada sale di tengah malam sehingga mendadak kita butuh melek sampai jam dua belas demi membeli seprei.
Benarkah Kita Butuh?
Balik lagi ke soal me-time. Bila dilihat sederhananya kan begini: kalau nggak mau repot dan kehilangan segala waktu bebas untuk diri sendiri ya sudah tidak usah punya anak. Tapi kapan manusia itu mau berpikir sederhana. Sudah kodratnya juga manusia itu pengin ini-itu. We want them all. Kita pengin punya anak, tapi tidak ingin kehilangan kesenangan melajang dan bentuk badan seperti jam pasir. Kita pengin punya anak yang manis sekaligus pekerjaan bergengsi. Kita pengin punya keluarga harmonis sekaligus acara-acara sosial yang gemerlap. Intinya pengin punya anaknya, nggak pengin repotnya.
Seseorang berkomentar begini ketika tahu anak saya belum bersekolah, “Sekolahin saja. Anak sekarang biasa sekolah sejak umur dua tahun. Enak lho, kamu nggak repot.”
Doh, saya sudah siap repot saat mau punya anak.
Inilah yang ditangkap industri. Me-time digembar-gemborkan sebagai kesenangan, bahkan kebahagiaan yang must have –hal yang wajib dimiliki--. Anda bisa tetap punya anak dan punya waktu untuk diri sendiri.
Hei, kesannya kok saya anti banget sama me-time. Nggak kok, saya tidak menafikan ada kalanya kita memang butuh waktu buat diri sendiri, siapa pun kita, baik yang single maupun yang dobel, punya anak atau tidak. Otak dan tubuh selalu butuh direfresh secara berkala.
Jadilah saya penasaran dengan manusia-manusia yang tidak kenal me-time atau kenal me-time tapi kayaknya nggak pernah me-time saking sibuknya. Kok bisa mereka waras-waras saja? Ternyata kuncinya adalah nrimo dengan apa yang di depan mereka. Hidup dijalani sebisa-bisanya. Cara bersenang-senang mereka ya seadanya. Menyuapi anak sambil jalan-jalan keliling kampung, ketemu tetangga, ngobrol, nggosip, sementara anak mereka main dengan anak tetangga. Tak ada acara marah-marah karena anak mengacak-acak makanan. Ibunya lebih sibuk ngobrol melepas beban.
Mereka datang arisan, pengajian, dan acara-acara sosial lainnya sambil tetap momong anak. Anak dibiarkan bebas selama masih dalam pengawasan. Kalau mereka butuh pergi sebentar dan tak bisa membawa anak, anak cukup dititipkan ke tetangga yang dipercaya. Bukan hal yang asing di kampung saya kalau seorang balita main di rumah tetangga selama ibunya mandi. Yang mengasuh? Anak tetangga yang sudah lebih besar.
Mereka tidak kenal facebook, nggak merasa butuh hape canggih, dan ngeri sama mal. Mau masuk mal saja sudah merinding. Butuh piknik? Ya, mari rame-rame sewa bus kota. Hanya dengan rp 20.000 per orang sampailah mereka di pantai Parangtritis atau Kaliurang. Nggak perlu sampai Bali atau Phuket. Begitu malam tiba, sinetron bisa jadi hiburan. Besok? Ya pikirkan besoklah.
Saya sendiri selain menjalani apa yang ada di depan mata sebisa saya juga selalu mengingatkan diri sendiri bahwa sayalah yang ingin memiliki anak. Anak tak minta dilahirkan, sayalah yang meminta melahirkan. Tidak adil kalau saya bilang, ‘gara-gara kamu, ibu nggak bisa kuliah/ nonton film/ traveling.’ Kalau ada kerepotan ya itulah konsekuensi yang harus saya hadapi demi mendapat hadiah yang manis. Senyum dan tawa anak-anak, pelukan hangat, dan celoteh lucu.Sama seperti kita yang harus bekerja keras bila ingin dapat piala, dapat uang, atau penghargaan lainnya. Sungguh kerepotan yang tak seberapa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H