Indonesia sebagai negara hukum, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 setelah amandemen ketiga disahkan pada 10 November 2001, seharusnya menjunjung tinggi keadilan dan persamaan di depan hukum.
Akan tetapi, sepertinya seolah-olah para penegak hukum di Indonesia lupa akan pentingnya kedua hal itu. Persamaan di depan hukum sebagaiman ditekankan dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 amandemen IV yang berbunyi, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya", seolah-olah dapat dianulir bila seseorang berkuasa dan ber-uang.
Ayat tersebut seolah-olah sudah diubah menjadi "...dengan perkecualian orang-orang berkuasa dan memiliki uang banyak." Para pejabat dan konglomerat seperti ditempatkan di atas hukum itu sendiri, padahal mereka temasuk warga negara yang seharusnya bersamaan kedudukannya di depan hukum.
Ketidakadilan dan ketidaksamaan di mata hukum ini dapat terlihat di kasus-kasus para pembesar yang sempat "booming" di awal tapi kemudian hilang, lenyap, dan tidak terdengar lagi kabarnya hingga sekarang ataupun vonis hakimyang terlalu"ringan" bagi para terdakwa yang sudah jelas melakukan pelanggaran berat.
Ambil contoh saja kasus Harry Tanoesoedibjo, CEO MNC Group dan Ketua Perindo, yang mengancam Kepala Subdirektorat Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Yulianto melalui pesan singkat. Kasus yang terjadi pada pertengahan tahun 2017 itu seolah-olah hilang tanpa ada perkembangan terbaru dan tanpa ada berita, ditambah sng tersangka merupakan "raja media."
Contoh kasus-kasus lainnya adalah kasus-kasus kecelakaan yang melibatkan para public figure atau anak mereka. Kasus putra bungsu Rasyid Amrullah Rajasa, putra bungsu Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa pada saat itu, seolah-olah terhapuskan dari ingatan masyarakat sekarang.
Rasyid yang pada saat itu terbukti melanggar Pasal 310 Ayat (2) dan (4) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan No. 22 Tahun 2009 yang berisi tentang pelanggaran pengemudi kendaraan bermotor yang mengakibatkan kecelakaan dengan korban luka dan meninggal hanya mendapat hukuman yang sangat ringan yaitu pidana penjara 5 bulan atau denda Rp12 juta dengan masa percoaan 12 bulan yang praktis bagi Rasyid sama dengan bebas.
Rasyid yang telah menghilangkan nyawa dua orang di mana salah satunya adalah bayi berusia satu setengah tahun, hanya mendapatkan vonis ringan dari hakim karena mempertimbangkan "Restorative Justice" di mana Rasyid berjanji akan bertanggung jawab terhadap keluarga korban dan menyantuni mereka yang saya rasa tidak sebanding dengan kesalahan yang ia lakukan melihat kondisi ekonomi keluarganya yang jelas sangat mudah untuk hanya sekadar "menyantuni".
Kasus Dul, putra bungsu Ahmad Dhani dan Maia Estianty, yang menewaskan 7 orang dalam kecelakan maut juga seakan hilang dari ingatan masyarakat. Tindakan menghilangkan 7 nyawa menurut saya walaupun dilakukan oleh anak di bawah umur setidak-tidaknya harus mendapat hukuman yang setimpal dan tidak dapat hanya langsung bebas begitu saja.
Dul yang pada saat itu dijerat dengan Pasal 310 Ayat (2), (3), dan (4) UU Lalu Lintas masih berumur 13 tahun sehingga dengan pertimbangan anak masih di bawah umur dan keluarga terdakwa telah berdamai dengan keluarga korban maka Dul hanya divonis hakim dikembalikan kepada orang tuanya. Melihat kedua penyelesaian dari kedua kasus tersebut menimbulkan suatu tanda tanya besar bagi saya.
Apakah tindakan menghilangkan nyawa orang begitu tidak pentingnya? Bagi terdakwa yang berkuasa dan ber-uang tentu sangatlah mudah bagi mereka mencapai kata "damai" dengan keluarga korban, apalagi bila korban berasal dari masyarakat biasa. Dengan segala daya dan uang mereka dapat membuat keluarga korban berkata "damai". Akan tetapi, bagi saya hal tersebut tidak dapat diterima oleh moral dan keadilan.