Lihat ke Halaman Asli

Menengok Organisasi Pajak

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum beranjak jauh dalam program-program presiden yang baru dalam kepemimpinannya nanti, ada baiknya kita menengok sebuah organisasi yang menjadi sumber pendanaan utama negara ini. Direktorat jenderal pajak.  Sebuah institusi yang memiliki peran penting dalam mencari dana pembangunan dan roda pemerintahan yang kini sedang terseok-seok dalam tugasnya.

Berbagai peristiwa besar yang menggemparkan bumi indonesia terjadi karena beberapa karyawan DJP yang ditangkap lembaga pemberantas korupsi, KPK. Beberapa waktu yang lalu pimpinannya juga memberikan informasi kepada media bahwa tak kurang ribuan orang karyawan mengajukan pengunduran diri. Kepada presiden terpilih kiranya perlu lebih serius memperhatikan organisasi ini karena melemahnya DJP akan membuat sumber penerimaan negara tidak tergali dengan baik. Memasuki akhir Desember ini, realisasi penerimaan baru mencapai 946 triliun dari rencana 1072 triliun atau sekitar 88%. Mengingat akhir tahun dipastikan penerimaan tidak akan tercapai.

Sumber data kementerian keuangan menunjukkan bahwa penerimaan negara dari tahun 2004 s.d 2012, memiliki presentase yang tidak tumbuh signifikan ketika dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto. Bahkan hanya tumbuh besar di tahun 2008, ketika diadakan kebijakan Sunset Policy. Setelahnya tidak pernah lagi melebihi saat tahun 2008. Ada beberapa masalah sepertinya dalam organisasi ini. Saya ingin mengatakan bahwa organisasi ini seperti dalam diamnya berkata “we don’t do that again, but we can’t do better for this country”.

Dengan remunerasi kami tidak melakukan praktik-praktik tercela lagi, tetapi kami tidak bisa memberikan karya terbaik kami, karena keterbatasan otoritas dalam melaksanakan tugas dan kemampuan kami yang tidak sebanding dengan kapasitas ekonomi yang perlu kami gali. Hal ini dapat dimengerti, dari 33.000 pegawai pajak, hanya 6.000 an saja yang menjadi Account representative (AR), artinya dapat dikatakan, bahwa dari seluruh luas Indonesia raya ini, hanya dilayani untuk pengawasan dan konsultasi oleh 6.000 orang saja. Dari AR yang bekerja dengan baik, terkadang timbul permasalahan ketika mengadakan himbauan ke Wajib Pajak diwilayahnya dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan dan mengganggu roda bisnis wajib pajak. Suatu hal yang kontra produktif dengan semangat reformasi.

Kira-kira dalam jumlah yang sama, keberadaan pemeriksa pajak. Memang sebagian besar berada dalam wilayah Jawa. Tetapi pekerjaan untuk yang mengarah pada bukti permulaan penggelapan pajak, masih belum optimal. Pemeriksa disibukkan dengan pemeriksaan rutin lebih bayar, yang memiliki jatuh tempo pengembalian uang pajak yang telah dibayar karena peraturan Undang-undang. Selama lebih banyak wajib pajak yang jujur hal ini tidaklah mengapa, akan tetapi dalam praktinya Indonesia menduduki peringkat tinggi dalam hal tax evasion dan tax avoidance. Maka seharusnya perhatian lebih diberikan oleh para pimpinan untuk tidak hanya menggali dari pemeriksaan Lebih Bayar Pajak. Pemeriksaan untuk tujuan tertentu danmenguji kepatuhan pajak perlu kiranya ditingkatkan untuk penggalian potensi pajak.

Perlu diketahui, bahwa pertumbuhan penerimaan dari wajib pajak orang pribadi adalah sangat kecil. Tenaga kerja sektor formal sekitar 47 juta orang, baru 28 juta orang yang ber-NPWP dan yang membayar baru 2 juta orang. Padahal melihat data BPS sebagai pendekatan, kita memiliki pendapatan 3.000 USD. Memang sebagian juga sudah dipotong PPh Pasal 21, tetapi data kementerian Koperasi tahun 2013 menunjukkan bahwa 57% PDB disumbangkan oleh UKM. Kiranya perlu penelitian lebih lanjut tentang kewajiban perpajakan atas hal ini.

Penyisiran calon Wajib pajak baru dengan keberadaan tenaga ekstensifikasi yang terbatas menjadi hambatan dalam hal ini. Plus tambahan mafia kecil dan kelompok tertentu melindungi para pelaku ekonomi dengan pungutan tertentu yang terkadang lebih besar dari cicilan pajak seandainya disetorkan ke kas negara.

Sudah sejak tahun 2002 organisasi ini mulai mengadakan reformasi dengan beragam perubahan dalam tataran struktural maupun remunerasi. Struktur dirombak berdasarkan fungsi dan take home pay dinaikkan. Melihat korelasi dari jumlah take home pay dengan rasio pajak tidak ada hubungannya, terbukti rasio pajak tetap stagnan. Visi DJP agar pada 2020 Indonesia memiliki tax rasio 19 persen perlu diberikan dukungan.

Kinerja setelah reformasi pada saat-saat pertama saja menunjukkan perbaikan, setelahnya semua menjadi biasa saja. Ada yang salah juga dalam pemberian remunerasi ini yang tidak dikaji dalam periode tertentu. Pendapat Kwik Kian Gie kiranya perlu mendapat perhatian bahwa para penegak hukum, pegawai pajak, dan bea cukai diberikan imbalan untuk dapat hidup gagah. Tetapi bila korupsi, dihukum m***.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline