Di tengah pandemi sekarang ini, sungguh begitu sulit menjadi Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati. Barangkali satu level lebih pelik ketimbang jadi Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin. Atau mungkin sama rumitnya.
Jika titik krusial Menteri Budi berada di pengendalian aspek kesehatan yang begitu luas, Menteri Sri bertanggung jawab dalam soal-soal biaya begitu besar yang mesti dipikul negara, lewat instrumen APBN.
Maka, dalam suasana merosotnya penerimaan pemerintah dan tuntutan pelebaran defisit fiskal, Menteri Sri mau tidak mau---suka tidak suka---mengambil kebijakan penambahan utang. Sebuah kebijakan yang sarat dengan kontroversi, kerap disambut nyinyir, dan hampir pasti memantik bully dari para pihak.
Yang teranyar, penerbitan global bonds berupa Surat Utang Negara (SUN) berdenominasi dua mata uang asing (dual currency), US Dolar dan Euro, dengan nilai masing-masing US$1,65 miliar dan 500 juta Euro. Rilis global bond ini sudah barang tentu menambah nominal utang pemerintah yang telah menyentuh posisi Rp6.554,56 triliun dengan rasio 41,35% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) per akhir Juni 2021.
Saya tidak yakin, para kritikus utang punya usulan solusi yang bisa diterapkan. Sama tidak yakinnya, jika mereka bertugas sebagai regulator akan menegasikan kebijakan yang sama: menambah utang. Kalau sekedar mencaci-maki, banyak mulut, meracau, dan/atau melakukan tekanan, semua juga bisa. Dan, itulah yang terjadi hari-hari ini di media sosial. Begitu banyak yang tidak jernih melihat persoalan pembiayaan utang ini.
Urusan utang memang secara abadi menjadi "peluru" para haters untuk menyerang pemerintah. Dengan "sasaran tembak utama" Presiden dan/atau Menkeu. Dengan maksud mendelegitimasi reputasinya. Syukur-syukur melumpuhkan kepercayaan masyarakat kepadanya. Begitu ada kenaikan utang, mereka sujud syukur.
Apakah Menteri Sri kurang paham risiko persepsi negatif publik seiring peningkatan utang pemerintah? Saya kira sebaliknya. Menkeu sangat memahami akibat itu, tapi sebagai policy maker, ia tetap menempuhnya: betapa pun berat risikonya.
Bisa saja Menteri Sri tidak mengambil kebijakan utang. Sangat bisa. Biarkan saja kebutuhan ratusan juta vaksin gratis terbengkalai. Cuek saja dengan krisis oksigen dimana-mana. Acuh tak acuh dengan masyarakat yang sulit beli beras akibat PPKM level 4. Masa bodo dengan gelombang kematian lantaran terjangkit wabah Covid-19.
Pandemi Korona adalah extraordinary challenge, kata Menteri Sri Mulyani. Tantangan luar biasa. Respons kebijakan terhadapnya juga mesti extraordinary. "Whatever It Takes!," begitu kata Menkeu. "Apapun akan kita lakukan untuk menyelamatkan warga negara dan perekonomian Indonesia," demikian terjemahan kontekstualnya.
Saya percaya, pilihan kebijakan penambahan utang yang ia tempuh lebih karena "apapun akan kita lakukan" tadi. Bukan untuk gagah-gagahan. Bukan pula untuk menyenangkan para haters dan tukang bully. Tidak karena hobi utang. Tidak juga karena ingin menjadi Menteri Keuangan Terbaik Dunia untuk kesekian kalinya.