Baik secara nominal maupun rasio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), lonjakan utang di era pemerintah Presiden Jokowi memang cukup besar. Utamanya disebabkan oleh wabah Covid-19. Kontraksi perekonomian, anjloknya penerimaan pajak dan meroketnya belanja saat pagebluk melanda jadi variabel utama peningkatan pembiayaan.
Lebih dari Rp1.000 triliun utang telah dipompakan sejak awal virus SARS Cov-2 merebak, dengan agregat menembus Rp6.418,15 triliun atau setara 40,49% dari PDB per akhir Mei 2021. Jumlah ini naik Rp1.159,58 triliun dari Rp5.258,57 triliun atau 32,09% dari PDB pada akhir Mei 2020.
Namun benarkah performa utang ini sudah mengantarkan Indonesia babak belur? Betulkah pencapaian utang ini menjadi yang terparah sepanjang sejarah perekonomian nasional? Apakah Indonesia sudah mulai terhisap krisis utang?
Tidak mudah menjawabnya. Tapi rasanya kita perlu menengok periode krisis multidimensi 20 tahun lebih silam. Yakni ke periode 1998-2001. Saat itu, menjelang Soeharto lengser di 1998, utang pemerintah menembus Rp551,4 triliun dengan rasio utang mencapai 57,7% terhadap PDB.
Kemudian, bengkak menjadi Rp938,8 triliun atau setara dengan 85,4% dari PDB di era Presiden Habibie tahun 1999. Pada masa Presiden Gus Dur tahun 2000, utang negara terus menanjak menjadi Rp1.232,8 triliun dengan rasio utang makin parah di kisaran 88,7% terhadap PDB.
Merujuk pada data ringkas tersebut, hingga Juli 2021, rasio pinjaman terhadap PDB masih lebih tinggi di kala krismon, 23 tahun lalu. Komparasi sederhana itu juga menunjukkan, rasio utang saat ini memang harus diakui cukup tinggi, namun bukan yang terparah di sepanjang sejarah republik.
Bahwa utang RI sedapat mungkin mesti direm dan dikelola secara prudent, itu iya. Namun menyimpulkan negara tengah di halaman krisis utang---sebagaimana diungkapkan banyak ekonom haters pemerintah---rasanya terlalu gegabah. Sejumlah indikator, termasuk struktur tenor utang secara agregat, menunjukkan posisi pinjaman luar negeri masih dalam batas terkendali.
Pun selama ini, Indonesia tercatat belum pernah default alias gagal bayar utang. Justru, melihat tren pasca krisis 1998, pemerintah lintas rezim tercatat berhasil menurunkan rasio utang secara gradual seiring dengan perbaikan ekonomi dari masa ke masa.
Yang lebih absurd lagi, para kritikus utang juga nyaris tak menyajikan alternatif pembiayaan atas pelebaran defisit akibat Korona. Ibarat kata, mereka hanya asyik menari, tanpa mau ngilu tangan menabuh gendang.
Saya pribadi meyakini, seluruh administrator pemerintah di negara mana pun ogah untuk menumpuk utang. Tapi pandemi telah memaksa seluruh dunia masuk fase sulit. Bahkan, kata Bank Dunia, saat ini, lonjakan utang negara berkembang secara kumulatif menjadi yang terparah sejak Perang Dunia II. Ini artinya, Indonesia tidak sendirian.