Epik... Itulah kata yang sangat pas menggambarkan sujud syukur Prabowo saat termakan provokasi dari lembaga-lembaga survei abal-abal yang memenangkan dirinya di Pilpres 2014 lalu. Rasa-rasanya, sujud syukur yang sejatinya 'sujud sungkur' itu memang akan kekal sebagai bahan olok-olok hingga akhir zaman.
Pemungutan suara, 17 April, tinggal 12 hari lagi. 'Sujud sungkur' yang heroik lima tahun lalu dimungkinkan terulang kembali. Alasannya, mayoritas hasil sigi lembaga survei kredibel telah merilis stabilitas kekalahan Prabowo pada jarak double digit dengan Jokowi.
Sekurang-kurangnya, menurut tujuh lembaga survei kredibel, sejak Agustus 2018 hingga awal April 2019, Jokowi selalu juara, dengan selisih 11%-28%. Gap dua digit sulit dikejar Prabowo karena kurang 3 M (media, money, momentum).
Kendati demikian, terdapat pula lembaga survei gadungan yang melakukan framing kemenangan Paslon 02. Dan, patut diduga, quick count halu mereka juga akan dirilis sesaat setelah pencoblosan. Daaaaaan... 'Sujud sungkur' nan epik dan heroik episode kedua bakal segera tayang....
Sepanjang masa pencapresan, utamanya selama musim kampanye ini, performa Paslon 02 betul-betul mengecewakan. Padahal, sejatinya, baik kubu petahana maupun masyarakat pada umumnya ingin ada perlawanan berarti terhadap Paslon 01. Semacam kompetitor yang greget gitu.
Namun, nyatanya, hingga ujung masa kampanye, hanya caci maki yang menyembur ke Jokowi-Ma'ruf. Bukan proposal kebijakan yang mampu memikat hati publik. Akibatnya, elektabilitas Prabowo-Sandi mangkrak, mamatung di bawah 35%.
Eh, tapi toh, rasanya mereka memang betah tenggelam dalam kekalahan, bahkan bangga dalam kekal sebagai pecundang. Semakin berupaya menghibur diri dengan survei internal berhalusinasi tinggi, maka semakin kencang tawa geli siapapun yang mendengarnya.
Melawan Jokowi memang tak pernah mudah. Walaupun berwajah ndeso, Jokowi adalah politisi yang dikutuk sebagai pemenang. Jokowi menyapu bersih seluruh kontestasi yang diikutinya. Dua kali memenangi Pilwalkot Solo, satu kali memenangi Pilgub DKI Jakarta, dan mau dua kali memenangi Pilpres.
Jika Jokowi tak punya sejarah kalah, sebaliknya, Prabowo merupakan politisi yang konsisten berada di barisan para pecundang. Kalah di Pilpres 2009, kalah di Pilpres di 2014, dan hampir pasti kalah di Pilpres 2019. Kekalahan hattrick secara berturut-turut tentu bukan semata tersebab lawannya kelas berat, tapi lebih karena ketidakpercayaan publik terhadapnya.
Katalog 'Dosa' Capres 02
Defisit kepercayaan pemilih terhadap Prabowo sangat dimungkinkan terjadi lantaran dirinya yang tercitra bergelimang persoalan. Mulai dari watak, narasi yang dibangun, perilaku faktor keluarga, pendukung, hingga rekam jejak. Seluruh faktor tersebut terangkum dalam sebuah katalog berisi 'dosa-dosa' atau 'daftar hitam' Prabowo yang terpatri pada memori kolektif pemilih.