Lihat ke Halaman Asli

Pengalamanku dengan BPJS K (Kritik dan Saran Tanpa Beban)

Diperbarui: 18 Desember 2015   01:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Iseng-iseng saya membuka blog competition yang diadakan oleh BPJS Ketenagakerjaan, dimana saya terpesona oleh sebuah tulisan kecil dibawahnya: Punya pengalaman seputar keuntungan menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan? Ayo ceritakan dalam bentuk karya tulis menarik dan menangkan total hadiah puluhan juta rupiah!. TOTAL HADIAH PULUHAN JUTA RUPIAH? WOW!! Seketika saya merasa kepingin untuk mengikuti kompetisi ini.....tapi saya tidak punya pengalaman menarik, yang ada malah pengalaman pahit, gimana dong? Ya sudah yang penting saya nulis, urusan dapat tidak hadiahnya adalah urusan belakangan, lebih baik saya berikan kritik dan saran kepada BPJS K agar kelak dikemudian hari jadi lebih baik lagi. 

Sebenarnya apapun program pelayanan masyarakat yang dikeluarkan oleh pemerintah pasti bertujuan dan bermaksud untuk kemaslahatan masyarakat luas, namun yang sering menjadi masalah dalam program-program pemerintah yang baik itu adalah pelayanannya. Saya dulu paling sebel dengan bank pemerintah seperti BNI dan BRI, karena pelayanannya...aduh mak....kayak militer, tapi itu dulu. Seiring jaman setelah reformasi, BNI dan BRI berubah jadi bank yang luar biasa menyenangkan pelayanannya bahkan saya sekarang gantian sebel sama salah satu bank Swasta yang besar di Indonesia dan pindah ke BNI hahahaha. Itulah saya, customer kecil, yang sebenarnya gampang berpindah hati karena yang dibutuhkan hanyalah pelayanan yang baik. 

Konsep pelayanan dalam ilmu pemasaran (cabang dari ekonomi) sebenarnya cukup simple: to fulfill any demand. Jadi sepanjang sebuah perusahaan berhasil memenuhi permintaan dari setiap customernya maka pelayanannya akan dianggap satisfied, qualiefied atau bahkan extra-ordinary. Namun yang menjadi kesulitannya adalah ketika kita hendak memenuhi kebutuhan setiap pelanggan, apa yang menjadi tolok ukurnya? dalam mempelajari tolok ukur to satisfy customer demand, Ilmu perilaku konsumen (Consumer Behavior adalah cabang dari ilmu Pemasaran) memberikan tipsnya: pelajarilah latar belakang Budayanya, Sosialnya, Kepribadiannya dan faktor-faktor Psikologisnya, aduh sulit amat? Sebenarnya tidak terlalu sulit jika yang dipelajari adalah suatu negara yang sebenarnya memiliki penduduk, meskipun beragam, namun punya satu ciri khas kepribadian yang sama, yakni: ingin di-uwongke (di Orangkan dalam bahasa Jawa, Dianggap sebagai manusia). Saya tidak perlu bercerita lebih banyak tentang latar belakang nguwongke ini, namun analisis saya tentang kepribadian bangsa Indonesia itu berdasarkan latar belakang sejarah kita yang lama sekali memperjuangkan dirinya untuk dijadikan manusia oleh manusia lain yang menjajah kita. 

Kembali ke masalah pelayanan tadi, Informasi Program Pemerintah untuk BPJS K, yang jika kita masuk ke dalam websitenya: http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/ sudah cukup canggih nan informatif, namun pertanyaannya adalah apakah pelayanannya sebanding lurus dengan kecanggihan websitenya? (salah satu kecanggihan website BPJS K adalah bisa membuat rumus hitungan simulasi saldo jaminan hari tua: https://es.bpjsketenagakerjaan.go.id/#simulasijht) dan apakah pelayanannya seinformatif websitenya? (kalau kita mau registrasi untuk menjadi anggota BPJS K cukup dengan satu klik saja: https://es.bpjsketenagakerjaan.go.id/#tenagakerja). Bahkan kita bisa OL dengan BPJS Mobile : http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/mobile/.

Dengan semua perangkat canggih ini, pertanyaannya sekali lagi adalah, apakah diimbangi dengan pelayanan yang nguwongke? Saya ambil contoh, ketika saya mencairkan dana jamsostek, saya menghabiskan waktu 10 jam dalam kurun waktu 2 hari hanya agar dapat memasukkan formulir pencairan ke dalam proses. Coba bandingkan ketika saya mengurus Kartu Resident Permit sementara di Dubai, UAE yang hanya butuh waktu 1 jam saja, karena sebagian besar prosesnya bisa dikerjakan lewat internet, jadi saya cukup datang ke kantor administrasi pemerintahnya hanya untuk Foto, dimana hari serta jam untuk foto sudah disebutkan dalam lampiran formulir yang harus saya print dan bawa ke kantor itu. Selesai foto, saya menunggu 1 jam dalam antrian untuk langsung mendapatkan KTP. Bandingkan 60 menit itu dengan 10 jam selama 2 hari hanya untuk mengantri. 

Saran saya kepada BPJS K adalah:

1. Yang paling penting adalah memperbaiki performance front office, karena mereka yang bertugas menghadapi manusia wajib memiliki empati seperti yang dimiliki oleh front office bank. 

2. Teknologi dalam antrian untuk proses wajib maksimal 60 menit, artinya fokus pada teknologi antrian dengan waktu minim yang sudah dikembangkan dewasa ini. Gabungan Internet dan Front Office dalam satu sistem akan mempermudah pelayanan. 

3. Rubah cara pandang melayani behind the desk menjadi infront the desk, ciptakan sales executive untuk kunjungan rutin ke perusahaan-perusahaan yang telah mendaftarkan karyawan mereka untuk mengajak anggota lain dalam keluarga karyawan tersebut menjadi anggota BPJS K.

4. Ciptakan kompetitor. hehehe ini kedengarannya agak provokatif, tetapi kadang kita sering bilang, jangan bandingkan produk kita dengan pesaing ini dan itu, karena tidak apple to apple, karena harganya terlalu murah, karena pasarnya nda sama, karena itu semua pikiran menyesatkan yang membuat kita terlena dalam comfort zone, lebih baik kita ciptakan kompetitor meskipun jauh lebih kuat dari kita, agar kita bisa terus waspada dan berjuang. 

Akhir kata, saya ingin sekali agar BPJS K sukses, karena ada 250 juta lebih penduduk Indonesia yang harus dilindungi oleh program terjangkau semacam ini. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline