Lihat ke Halaman Asli

kitab tafsir anwar al tanzil wa asrar al ta'wil karya al baidawi

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kitab tafsir Anwar al-wa Asrar al-Ta’wil merupakan salah satu kitab yang mencoba memadukan penafsiran bi al-ma’sur dan bi al-ra’yi sekaligus. Dalam hal ini, al_baidawi tidak memasukkan riwayat-riwayat dari Nabi dan para sahabat dalam menafsirkan al Qur’an, yang menjadi ciri khas dalam penafsiran bi al-ma’sur, namun juga menggunakan ijtihad untuk memperjelas analisisnya atau memperkuat argumentasinya. Model penafsiran secara campuran ini dinilai bisa mempermudah pemahaman dan pengalaman akan petunjuk-petunjuk kitab suci tersebut, [1] karena si mufasir bukan hanya mengutip atau menukil pendapat orang terdahulu, melainkan juga mempergunakan tinjauan pengalaman sendiri.[2] Namun, Nashruddin Baidan dalam tulisannya menempatkan penafsiran Al_Baidawi dalam jenis tafsir bil ra’yi.

Melihat isi kitab Tafsir al-Baidawi, metodologi yang digunakan adalah tahlili (analitis). Dikatakan demikian, karena pengarangnya menguraikan makna yang dikandung oleh al-Qur’an sesuai dengan urutan mushaf Usmani dan tidak beranjak dari ayat satu ke ayat lain kecuali setelah menerangkan dan menganalisa berbagai aspek yang punya relevansi dengan ayat tersebut.[3] Uraian itu menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosakata konotasi kalimat, latar belakang turun ayat, kaitannya dengan ayat-ayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya (munasabat), dan tak ketinggalan pendapat-pendapat yang dikeluarkan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tabi’in dan tokoh tafsir lainnya.[4] Penggunaan tata bahasa dan qira’at menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan penafsiran yang dilakukan al-Baidawi.

Adapun sistematika yang ditempuh dalam penafsiran tafsir ini.

a.Basmalah, Tahmid menjelaskan kemu’jizatan al-Qur’an dan dan ilmu tafsir, menguraikan latar belakang penulisan dan baru kemudian memulai penafsirannya.

b.Dalam mengoperasionalkan penafsiran, langkah pertama yang digunakan adalah menjelaskan tempat turunnya surat (makki-madani) dan kuantitas ayat-ayatnya. Kemudian setelah memasuki kawasan penafsiran, beliau menjelaskan makna ayat satu persatu baik dengan mengetengahkan hadis, qiraat, maupun analisa kebahasaan secara singkat. Beliau menjelaskan makna kata-kata dan istilah yang kurang jelas, menjelaskan hubungan antara satu kata dengan kata yang lain.Semua penjelasan ini dilaksanakan dengan menerapkan sistematika tertib mushafi dan hampir di setiap akhir surat tercantum hadis-hadis maudu’ yang menjelaskan keutamaan surat yang ditafsirkan.[5]Kisah-kisah israiliyat yang menjadi bagian penting dalam kitab-kitab tafsir sebelumnya diminimalisir. Kalaupun mengutip kisah-kisah tersebut al-Baidawi menyebutkan dengan menggunakan istilah “ruwiya” (diriwayatkan) atau “qila” (dikatakan). Menurut al-Zahabi, penggunaan istilah ini menunjukkan bahwa al-Baidawi mengisyaratkan akan kelemahan kualitas kisah-kisah israiliyat tersebut.[6]

c.Pada bagian terakhir (penutup), al-Baidawi “mempromosikan” keunggulan dan kehebatan tafsirnya yang disajikan dan dikemas dalam bahasa yang singkat dan praktis (talkhis) dengan salah satu harapan agar dapat dengan mudah dimanfaatkan dan dikonsumsi oleh pelajar. Do’a, Tahmid, dan Salawat adalah kalimat penutup.

Dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an, al-Baidawi sebenarnya tidak memiliki kecenderungan khusus untuk menggunakan satu corak yang spesifik secara mutlak, misalnya fiqih, akidah atau yang lain. Karyanya ini justru mencakup berbagai corak, baik kebahasaan, akidh, filsafat, fiqih, bahkan tasawuf. Hanya saja sebagai seorang Sunni, penafsiran al-Baidawi memang cenderung kepada madzab yang dianutnya tersebut.[7]

Meskipun al-Baidawi banyak merujuk pada tafsir al-Kasysyaf yang ditulis oleh al-Zamakhsyari yang beraliran Mu’tazilah, akan tetapi al-Baidawi lebih selektif terhadap madzab yang dianut oleh al Zamakhsyari. Kitab Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil yang diterbitkan oleh penerbit Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, dan terdiri dari dua jilid besar ini diawali oleh al-Baidawi dengan membaca tahmid, menjelaskan keutamaan dan kelebihan Al – Qur’an dan signifikansi ilmu tafsir, menguraikan latar belakang penulisan tafsirnya dan kemudian memulai penafsirannya.[8]

Sejak awal dalam muqaddimah kitab tafsirnya, al Baidawi telah menentukan metode yang akan diikutinya dalam penafsirannya tersebut. Kalaupun ada kelemahan dalam metode penafsirannya adalah pengambilan ide-ide para pendahulunya ke dalam penafsiran yang dilakukannnya tanpa menyebtkan sumbernya dari mana beliau mengambil iide dan gagasan tersebut. [9]

[1] Ahmad Baidowi, Studi Kitab Tafsir, hal. 121

[2] Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz I (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), hal. 36

[3] Fathurrosyid,”Penafsiran al-Baidawi tentang Kata Hikmah dalam Tafsir Anwar al-Tanzil waAsrar al-Takwil”, Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2003, hlm. 26

[4] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 68

[5]Fathurrosyid,”Penafsiran al-Baidawi tentang Kata Hikmah dalam Tafsir Anwar al-Tanzil waAsrar al-Takwil”, hal. 27

[6]Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, hal 123

[7]Ahmad Baidowi, Studi Kitab Tafsir, hal. 121

[8] Herman Felani, “Al-Maut dan Al-Wafah dalam AL Qur’an (Studi Penafsiran al-Baidawi dalam Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil )”, Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2009, hlm. 44

[9]Ahmad Baidowi, Studi Kitab Tafsir, hal. 124




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline