Batas Rasa
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Mencintai seseorang memang hak setiap orang. Bahkan ketika rasa itu berlabuh di atas batas yang tidak bisa ditembus, cinta tetaplah bukan suatu dosa. Karena bagaimanapun kita menghindar, rasa itu akan menjadi sebuah cadar. Cadar yang menutupi rasa sadar bahwa apa yang tengah dijalani hanyalah asa tanpa pijar.
Aku tahu batas yang ada di antara kita tidak hanya sekedar bias tanpa balas, tetapi sebuah dinding tinggi menjulang yang mustahil kubuang. Mencintai seorang Ray Devanka---pria yang telah berpunya---membawaku ke jurang perasaan penuh ribuan debaran bertabur kepedihan. Walaupun ini kesalahan, setidaknya tidak pernah ada penyesalan telah mengenalnya dalam ketiadaan ikatan.
Akulah Zevanya Azami, wanita yang menantang batas rasa untuk sebuah bimbang tanpa harus membuang segala kenangan indah selama bertahan dan saling berjuang. Bahkan ketika perjuangan itu tanpa ujung pun, aku masih mencoba terus bertahan untuk sesuatu keyakinan yang jelas tidak akan mendapat restu Tuhan.
"Ray ... harus aku apakan separuh hati ini jika batas kita begitu kuat? Sanggupkah raga ini hanya melihat tanpa bisa menyentuhmu? Aku tahu, batas dinding antara kita tidak mungkin akan bisa retak apalagi runtuh? Inikah hukuman untuk sebuah rasa tanpa ketentuan?" lirihku sembari membayangkan dinding kaca menyekat rapat kisah yang terlanjur merekat.
Lamunan kesakitan akan sebuah kerinduan kian melemahkan iman. Terkadang air mata tanpa sadar menetes begitu saja layaknya rintik gerimis di sudut mataku. Memohon pada semesta pun itu percuma. Aku tetap saja tidak bisa lari dari jeruji perasaan sendiri.
"Vanya ...."
Satu suara yang sangat aku rindukan tiba-tiba terdengar layaknya nyanyian. Di balik dinding kaca, Ray Devanka selalu berdiri gagah dan memberikan tatapan penuh kasih. Walaupun belum bisa melakukan hal layaknya pasangan, melihatnya seperti ini sudah cukup membuat hati bahagia dan berantakan. Kenapa? Karena mencintai tanpa bisa memiliki itu sungguh hal yang membutuhkan banyak kesabaran dan keikhlasan tanpa harus merajuk banyak alasan.
"Ray ... kamu ngapain ke sini?" tanyaku dengan perasaan campur aduk.
"Aku hanya ingin melihatmu. Itu saja. Kamu baik-baik ya ... aku tahu kamu pasti terluka karena hubungan ini, tapi memang ada batas yang tidak bisa kita runtuhkan sesukanya. Aku harap kamu akan selalu bahagia meski jalan kita nantinya berbeda," ujar pria yang selalu bisa menyembunyikan isi hati. Padahal jauh di lubuk jiwanya mungkin tengah menjerit menahan segalanya.