Kolonialisme merupakan suatu sistem di mana sebuah negara mendominasi dan menguasai wilayah atau negara lain dengan tujuan utama mengeksploitasi sumber daya alam, ekonomi, dan tenaga kerja dari wilayah yang dijajah. Proses ini tidak hanya melibatkan pemindahan penduduk dari negara penjajah ke wilayah koloni tetapi juga pengenaan kontrol politik, ekonomi, dan budaya yang ketat. Di Indonesia, dampak kolonialisme yang paling terasa adalah eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara penjajah, khususnya Belanda.
Eksploitasi ini meliputi penguasaan sumber daya alam yang melimpah, seperti rempah-rempah, kopi, gula, dan hasil tambang. Penggunaan tenaga kerja paksa, seperti yang terjadi pada sistem tanam paksa atau "cultuurstelsel", menjadi salah satu bentuk eksploitasi yang paling kejam di Indonesia. Kebijakan perdagangan yang tidak adil dan monopoli ekonomi oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dan pemerintah kolonial Belanda memastikan bahwa hasil bumi dari Indonesia mengalir ke Eropa dengan harga murah, sementara penduduk pribumi mengalami kesulitan ekonomi yang berat.
Kontrol politik yang diterapkan oleh Belanda di Indonesia sangat ketat dan bersifat dominatif. Belanda menerapkan berbagai kebijakan yang mengukuhkan kekuasaan kolonial mereka, seperti pengangkatan pejabat kolonial yang bertugas untuk memastikan semua kebijakan dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah Belanda dipatuhi. Sistem hukum kolonial yang diterapkan di Indonesia pun bertujuan untuk melindungi kepentingan kolonial, sementara kebebasan politik masyarakat pribumi sangat dibatasi.
Setiap bentuk perlawanan atau upaya untuk meraih kemerdekaan dihancurkan dengan kekerasan militer, seperti yang terlihat dalam berbagai perang besar yang terjadi di Nusantara, termasuk Perang Diponegoro dan Perang Aceh. Pemisahan rasial dan etnis juga diterapkan melalui kebijakan *Wijkenstelsel*, yang memisahkan komunitas Tionghoa dari penduduk pribumi, serta penerapan sistem kasta yang tidak hanya memisahkan berdasarkan ras tetapi juga melanggengkan kekuasaan kolonial.
Selain kontrol politik, Belanda juga berusaha untuk mendominasi budaya di Indonesia. Dominasi budaya ini dilakukan dengan cara memaksakan bahasa Belanda sebagai bahasa resmi pemerintahan dan pendidikan, serta menyebarkan agama Kristen, khususnya di daerah-daerah di luar Jawa yang lebih mudah dipengaruhi.
Sistem pendidikan kolonial yang diperkenalkan oleh Belanda tidak dimaksudkan untuk mencerdaskan penduduk pribumi, tetapi lebih untuk menciptakan tenaga kerja terdidik yang loyal kepada pemerintah kolonial. Tradisi dan adat istiadat lokal sering kali diabaikan atau digantikan oleh budaya Barat, sementara banyak nama dan identitas tempat diubah untuk mencerminkan pengaruh kolonial. Misalnya, nama Batavia menggantikan Jayakarta sebagai ibu kota koloni, yang kini dikenal sebagai Jakarta.
Proses pemindahan penduduk juga menjadi bagian penting dari kolonialisme Belanda di Indonesia. Pemerintah kolonial mendorong pemukiman orang-orang Eropa di wilayah-wilayah strategis dan subur di Indonesia, seperti di perkebunan-perkebunan besar di Sumatra dan Jawa. Pemindahan penduduk ini sering kali disertai dengan perpindahan paksa penduduk asli dari tanah mereka untuk membuka jalan bagi eksploitasi sumber daya alam. Plantasi-plantasi besar dibangun, dan sistem kerja paksa diterapkan untuk memastikan produksi komoditas ekspor berjalan lancar. Segregasi rasial yang diterapkan oleh Belanda menciptakan perbedaan yang tajam antara kehidupan masyarakat kolonial Eropa dan pribumi, yang dipaksa hidup dalam kondisi yang jauh lebih buruk.
Penggunaan kekerasan oleh pemerintah kolonial Belanda juga menjadi ciri khas dalam menaklukkan dan mengendalikan wilayah Indonesia. Penaklukan militer dilakukan dengan brutal terhadap kerajaan-kerajaan lokal yang menolak kekuasaan kolonial, seperti yang terjadi dalam perang melawan Kesultanan Aceh. Penindasan perlawanan rakyat, seperti yang dilakukan dalam Perang Padri dan Perang Bali, memperlihatkan betapa kuatnya keinginan Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya.
Kerja paksa diberlakukan dengan kejam, terutama dalam pembangunan infrastruktur seperti jalan raya dan rel kereta api, yang sebagian besar dibangun dengan darah dan keringat rakyat Indonesia. Kekerasan seksual juga sering terjadi di bawah penjajahan, di mana wanita pribumi sering kali menjadi korban dari tentara dan pejabat kolonial. Untuk menjaga ketertiban dan keamanan kolonial, Belanda membentuk milisi dan polisi kolonial yang tugas utamanya adalah menindas setiap bentuk perlawanan dari rakyat Indonesia.
Belanda menggunakan strategi "divide et impera" atau adu domba untuk menguasai wilayah-wilayah di Indonesia. Strategi ini memungkinkan Belanda untuk memecah belah kekuatan kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara, sehingga mereka tidak dapat bersatu melawan kekuasaan kolonial. Salah satu contoh sukses dari strategi ini adalah bagaimana Belanda berhasil menguasai kerajaan-kerajaan di Jawa dengan menciptakan permusuhan di antara para penguasa lokal, sehingga mereka lebih mudah untuk ditaklukkan satu per satu.
Selain itu, kebijakan-kebijakan VOC juga sangat mempengaruhi jalannya sejarah di Nusantara. VOC, yang berkuasa dari tahun 1602 hingga 1799, menerapkan kebijakan ekonomi yang memaksa seperti ekstirpasi tanaman yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka dan monopoli perdagangan. Kebijakan VOC tidak hanya menyingkirkan pedagang-pedagang lokal, tetapi juga menciptakan ketergantungan ekonomi yang parah terhadap Belanda.