Lihat ke Halaman Asli

Fakir Miskin dan Anak Jalanan di pelihara "siapa"?

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan adanya kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 kemudian dilahirkannya reformasi tahun 1998, tujuannya tak lain ialah agar keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat Indonesia baik dalam bidang ekonomi, sosial dan sebagainya tercapai dan bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh bangsa Indonesia.

Namun seperti yang kita ketahui, sampai saat ini tujuan-tujuan itu belum bisa terwujud. Masalah-masalah krusial seperti kemiskinan dan kesenjangan sosial malah justru semakin menjadi. Ditambah lagi dengan kekacauan yang terjadi dalam tubuh penyelenggara negara seperti korupsi dan pertikaian antar sesama institusi negara justru makin memperparah keadaan. Para penyampung lidah rakyat sudah tak konsisten lagi dengan tugas utamanya, para hakim tak jujur, media tak independen, lembaga maupun perorangan yang berusaha menciptakan keadilan dan kebenaran justru di fitnah, dilumpuhkan dan dibunuh pelan-pelan.

Kebijakan-kebijakan yang harusnya memihak pada kepentingan umum justru di buat semanipulatif mungkin karena berbalut kepentingan segelintir orang-orang  rakus yang ada dalam pemerintahan. Materi menjadi dewa tertinggi di negara Indonesia yang (katanya) kaya raya ini, materi bisa membeli apapun, tahta, hukum, dan kebenaran. Apapun bisa didapatkan asalkan seseorang memiliki materi. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tidak memiliki materi berlimpah? Bagaimana nasib para masyarakat yang miskin? Apakah mereka bisa mendapatkan haknya? Jawabannya Tidak.

Menengok kembali pada perintah konstitusi yang tertuang dalam pasal 34 ayat 1 dan 2 mengatakan bahwa (1) fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. (2)  negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Upaya-upaya yang dilakukan negara untuk melaksanakan tugasnya sesuai konstitusi dalam pasal di atas nyatanya telah gagal. Masyarakat yang miskin dan anak-anak terlantar  justru diperlakukan secara tidak manusiawi dalam berbagai bidang baik oleh negara maupun oleh masyarakat lain yang (katanya) memiliki status sosial lebih tinggi.

Kebijakan-kebijakan yang di buat baik oleh pemerintah pusat maupun di daerah justru makin memancing tingginya jurang kesenjangan antara si kaya dan miskin. Keputusan yang di ambil tidaklah tepat. Khususnya bagi para tuna wisma/ gelandangan dan anak jalanan, kebijakannya seolah-olah menghakimi dan menyalahkan tuna wisma/ gelandangan dan anak jalanan itu sendiri atas segala kehidupan yang mereka jalani, pemerintah bersikap seolah-olah mereka itu adalah penjahat, di kejar-kejar, dipukuli dan di tangkap.

Di tangkap, di masukkan dalam dinas sosial selama beberapa hari untuk dibimbing dan dibekali ketrampilan agar setelah di bebaskan nanti bisa memiliki kemampuan untuk memulai kehidupan baru, pekerjaan baru, dan hidup yang lebih baik (katanya). Namun apakah ada yang tau apa yang terjadi pada mereka saat di Dinas Sosial? Jika di tempat itu mereka di perlakukan secara manusiawi dan wajar, mereka di bimbing  di beri ketrampilan secara baik, saya rasa pasti para tuna wisma ini betah dan tidak akan pernah lari-larian ketika di tangkap petugas. Sudah menjadi rahasia umum bahwa perlakuan yang di berikan pada mereka saat berada dalam dinas sosial tidaklah manusiawi.

Dan setelah melewati proses itu, apakah ketrampilan yang di berikan bermanfaat? Apakah mengubah hidup mereka? Ternyata hal itu sia-sia. Kenyataannya meskipun sudah di berikan ketrampilan berkali-kali, nyatanya mereka tetap kembali pada kehidupan di jalanan, mereka tetap tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, tidak bisa punya rumah sendiri, dan tidak bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Pemerintah selalu menyalahkan para gelandangan dengan alasan mengganggu Ketertiban, Keindahan dan Kebersihan umum. Saya yakin, seandainya para gelandangan boleh memilih, tentu mereka juga tidak pernah menginginkan menjalani kehidupan yang seperti itu, karena keadaanlah mereka terpaksa menjalaninya.

Harusnya pemerintah juga melihat apa faktor yang menyebabkan semakin banyaknya para gelandangan di negara kita, salah satunya ialah koruptor. Koruptorlah yang telah merampas hak-hak warga negara hingga akhirnya karena kerakusan dan ketamakan mereka banyak rakyat yang kehilangan haknya, termasuk anak jalanan dan gelandangan ini.

Inilah yang harusnya menjadi evaluasi dari pemerintahan yang sedang di bangun oleh presiden Jokowi, masalah-masalah sosial yang penanganannya sangatlah buruk dan kebijakan-kebijakan yang tidak tepat harus segera di rubah untuk Indonesia yang lebih baik. Dan jangan ragu untuk memberikan hukuman berat seperti memiskinkan atau bahkan hukuman mati sekalipun bagi para koruptor, karena sesungguhnya para koruptor ini adalah penjahat yang menciptakan penjahat-penjahat lain seperti perampok,pencuri dan menciptakan berbagai permasalahan yang akhirnya menyengsarakan dan membunuh masyarakat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline