Seperti halnya pelawak yang "dituntut" cerdas mengolah materi simpel menjadi aksi lucu, penulis pun juga "dipaksa" untuk bisa mengolah ide ringan menjadi tulisan berbobot. Jika seorang pelawak medan tantangannya adalah panggung, maka bagi penulis arena pertempurannya adalah kertas. Di atas panggung dan kertas, kedua jenis "profesi" ini berpikir keras.
Namun, meski cenderung sama, tingkat keberhasilan keduanya diukur dengan cara berbeda. Maksudnya begini. Katakanlah kita sedang menonton seorang pelawak beraksi. Maka, yang kita dapat adalah apa yang terjadi pada detik dan momen saat itu juga. Perhatikan bila seorang pelawak gagal mengolah materi, pasti mulut penonton tak tahan untuk tidak berkomentar: "Halah, kagak ade lucunye!" Atau paling tidak, jika penonton itu diam, sudah pasti pada aksi berikutnya dia agak malas untuk menonton pelawak itu lagi, karena menurut penilaiannya, sang seniman sudah terlanjur tidak lucu.
Beda dengan penulis. Apa yang didapat oleh pembaca adalah apa yang terjadi di waktu yang berbeda-beda, serta pada momen yang tak pernah sama. Itu sudah jelas, kecuali jika kita sedang berada dekat dengan penulis tersebut, lalu dia meminta kita untuk langsung mengomentari tulisannya. Tapi, tentu hal seperti itu tak selalu terjadi, sebab tak semua orang mendapat "kepercayaan" dari seorang penulis untuk mencicipi hasil karyanya sebelum dipublikasikan.
Tapi jangan salah paham dulu tentang "kepercayaan" di sini, sebab yang kumaksud adalah soal kebiasaan yang dimiliki sebagian penulis, terutama yang pemula, yakni malu untuk menunjukkan tulisannya ke orang lain, bahkan pada keluarganya sendiri. Mereka lebih memilih langsung mengirimkan ke surat kabar atau menyerahkan nasib tulisan sepenuhnya di tangan juri perlombaan. Jadi, andaipun tulisan itu dinilai jelek, rasa malunya tidak begitu besar bila dibanding dengan langsung bertatap muka dengan penilai.
Di luar itu, ada pula "kepercayaan" yang tak bisa diberi pada orang yang dia kenal, gara-gara penulis tersebut merasa tak mempunyai alasan lain selain langsung menyerahkannya kepada redaktur surat kabar, yang bertugas menyeleksi kemudian meneruskannya kepada pembaca umum di luar sana. Tujuannya satu: agar mereka bisa segera "menghakimi" tulisannya. Andaipun tidak lolos, dia merasa tidak minder, malah makin penasaran dengan terus mengirim dan mengirim tulisan berikutnya, tanpa orang di sekitarnya tahu bahwa dia seorang penulis. Tipe-tipe seperti ini adalah pejuang sejati yang tidak ingin dipuji. Apa pun yang bakal terjadi, dia sudah siap menelan segala risiko. Hanya saja, dia belum siap apabila orang di lingkungannya tahu bahwa dia seorang penulis.
Namun, selain yang sulit memberi "kepercayaan" seperti dua tipe di atas, ada juga yang termasuk tipe penulis dengan tingkat percaya diri tinggi. Semua tulisannya tidak pernah dia rahasiakan. Dalam berbagai kesempatan selalu dia sediakan waktu untuk mengenalkan tulisannya ke semua orang, siapa pun, di mana pun, tak peduli kenal atau tidak, pun tak peduli di dunia nyata atau maya. Semua orang diperkenankan membaca karyanya. Baginya, bukan suatu masalah bila kelak teman-temannya memanggilnya sebagai seorang penulis.
Sebetulnya ketiga jenis penulis di atas sama-sama bagus. Merekasama-sama berani menunjukkan hasil karyanya meski dengan cara yang berbeda. Mereka juga tidak menyimpan karya itu sebagai koleksi pribadi. Itu point-nya. Jadi, ketiganya punya tabungan yang bakal diterima berupa reaksi, tak peduli itu positif atau negatif. Akan tetapi, dari setiap jenis tersebut, secara garis besar—dari apa yang terjadi di lapangan (jangan tanyakan soal survei. Itu bukan bidangku, tapi Cak Lontong)—lebih banyak yang memilih untuk langsung menyerahkan penilaian tulisan kepada pembaca umum di luar atau yang bukan dikenal secara pribadi.
Maka, bolehlah kita bilang, bahwa apa yang didapat pembaca dari penulis adalah apa yang terjadi di waktu yang berbeda-beda serta pada momen yang tak pernah sama. Kenapa? Karena proses datangnya tulisan ke tangan pembaca pun butuh waktu. Ada yang dalam hitungan hari, ada pula yang berbulan-bulan, atau bahkan tahunan. Proses itu adalah seleksi alam, yang akan menguji seberapa kuat daya tahan kita. Siapa lagi aral yang menghadang, kalau bukan tim penguji yang biasa kita sebut sebagai redaktur? Dalam kasus lain—seperti perlombaan menulis—sebutan itu bisa berupa kurator.
Nah, artinya, jika pelawak buruk langsung mendapat "kecaman" di atas panggung dalam waktu yang sama, maka penulis buruk boleh jadi akan berkali-kali lipat mendapat kecaman—sesuai dengan seberapa banyak orang yang membaca tulisan "buruk"-nya—walau efek jangka panjang atau pengaruh ketidaksukaan orang pada karya keduanya tak bisa dihindari.
Ini teori alam yang tak tersangkal. Sudah banyak bukti di lapangan, atau jangan-jangan kita sendiri pernah mengalami? Kalau dikritik sih, aku pribadi sering. Yang dibilang tulisan jeleklah, kurang berisilah, atau tak berimbanglah. Malah pernah sekali waktu, tanpa bukti dan pertanggungjawaban, asal ceplos saja, seseorang bilang bahwa aku telah memplagiat karya penulis lain! Wow, naudzubillah deh, punya sikap tak beretika macam itu!
Lalu, apa reaksi yang tepat bila kita mendapat penilaian buruk di mata penonton atau pembaca? Jawabannya adalah apa yang membuat kita menjadi lebih baik ke depan. Menjadi lebih baik, bukan berarti menjadi nyaman dan aman hari ini, Kawan. Ingat, Indonesia merdeka butuh pengorbanan nyawa dan itu sama sekali tidak nyaman! Maka, boleh saja sekarang kita merasa sakit, sedih, dan kecewa (asal jangan sampai putus asa), tapi ke depan, setelah melalui proses mendaki jalan menanjak, bersabar dan mau belajar memperbaiki karya-karya kita, dapatlah teraih kesuksesan itu dengan senyum sepanjang hidup.
Jangan lantas merespons kritik tentang betapa buruk tulisan kita dengan marah-marah dan membenci orang yang berkomentar begitu, karena kita tak selalu bisa melihat diri kita sendiri. Kita butuh cermin. Bilapun tulisan kita kurang berisi, berilah makan yang banyak dan bergizi, dengan bacaan-bacaan bermutu di luar aktivitas menulis itu sendiri. Satu hal penting yang tak boleh terlupa: menulis tanpa membaca sama dengan memancing tanpa umpan. Dan bila memang tulisan kita dirasa kurang berimbang, jangan ragu—sekali lagi: jangan ragu!—beli saja timbangan. Itung-itung sekalian buat nimbang berat badan kita. 'Kan lumayan?
Lain cerita kalau orang sudah menuduh kita melakukan kejahatan plagiat. Khusus untuk yang satu ini, kita sama sekali tak butuh cermin, apalagi survei ala Cak Lontong. Tidak, kita tidak butuh itu. Yang kita butuhkan adalah kejujuran, kecuali kalau kita dilanda penyakit pikun. Seandainya kamu dituduh orang melakukan tindakan ini, coba jawab tiga pertanyaan berikut dengan jujur:
1. Yakinkah kamu, bahwa selama proses menulis tak ada campur aduk "karya orang lain", bahkan meski tak sengaja sekalipun?
2. Yakinkah kamu, bahwa tulisan itu murni berasal dari lubuk otak dan hati terdalammu?
3. Yakinkah kamu bahwa tulisan itu benar-benar tidak didasari pemikiran picik, bahwa aku ingin segera sukses, maka boleh-boleh sajalah kujiplak tulisan bagus orang lain demi mendongkrak popularitasku?
Oh, bila jawaban telah didapat, maka kita pun telah tahu berada di posisi mana kita ini? Apakah ada di posisi yang "sebatas" terpengaruh gaya bahasa penulis terkenal tersebut? Atau apakah betul-betul hasil kerja keras mengolah dan mencipta gaya kita sendiri? Atau bahkan meng-copy-paste tulisan orang dan pekerjaan kita tinggal "menghapus-mengubah-menambah" beberapa bagian saja?
Untuk yang pertama, andai benar kamu terpengaruh, tak sepenuhnya kamu bisa disalahkan. Asal dengan satu syarat: isi tulisan itu benar-benar murni dari pemikiran sendiri. Masalah gaya bahasa yang nyaris atau betul-betul menyamai gaya bahasa penulis terkenal, itu sudah lumrah terjadi. Biasanya, ini menimpa penulis yang baru belajar, sedang sebelumnya ia memang hobi membaca tulisan-tulisan penulis tertentu. Jadilah, saat dia menulis, secara tak sadar otak akan menggiringnya lewat rangkaian kata dan kalimat dengan pola sepadan, seperti apa yang selama ini diserapnya dari buku bacaan.
Oleh sebab itu, kita perlu membaca banyak buku, tak cuma karya seorang penulis, tetapi juga banyak karya dari banyak penulis. Maka, dengan begitu, seiring berjalannya waktu, kita akan dapat menemukan gaya bahasa kita sendiri. Dan ini memang butuh proses. Jangan putus asa dalam berproses.
Kedua, jawaban tentang jerih payah dalam mencipta gaya bahasa—atau yang murni berasal dari lubuk otak dan hati terdalam—tentulah tergantung seberapa jauh proses jatuh-bangun yang sudah kita lewati. Dan ini, cuma kamu dan Tuhan saja yang tahu. Mungkin kamu sudah lama berkecimpung di dunia pena (misal katakanlah begitu). Lantas kamu sudah punya gaya sendiri dan betul-betul yakin sudah lepas dari pengaruh penulis mana pun (walau itu rasanya mustahil, sebab penulis terkenal sekalipun masih menyisakan sedikit pengaruh dari penulis favoritnya terdahulu). Nah, cara mengatasi ini adalah dengan bersikap tenang.
"Tenang? Lha wong dituduh mencuri karya orang kok tenang?!"
Maksudnya begini, tenanglah dan jangan gusar. Kalau kamu benar, kenapa takut? Kenapa gegabah? Hadapi tuduhan dengan memberi penjelasan bahwa kamu betul-betul bersusah payah menghasilkan tulisan tersebut, tanpa niat sedikit pun melakukan plagiasi atau mengikut-ngikuti gaya tulisan orang lain. Bila memang penuduhnya masih tak percaya, suruh dia cari referensi tulisan, yang menurutnya mirip tulisanmu itu—atau yang dengan kata lain: tulisan yang dia duga telah menjadi korban kejahatanmu—dari sumber mana pun, entah itu lewat media online atau cetak. Dapat dipastikan, jika memang tulisan itu betul hasil kerja kerasmu, tak akan pernah dia berhasil mendapatkan bukti. Yang ada, dia justru malu karena telah berburuk sangka padamu. Teknologi sudah canggih, Bro. Bahkan surat yang di zaman kerajaan dulu berupa kulit, sekarang menjadi layar kedap-kedip yang bisa terus menyala selama kuota internet atau pulsa kita masih banyak.
Namun, agaknya cuma sedikit orang yang mau mengakui kesalahannya secara terbuka—baik di depan umum atau teman terpercaya—betapa dia adalah seorang plagiator. Ya, jawaban ketiga ini hanya bisa diambil jika kesadaran dan hidayah datang menjemput penulis yang bersangkutan. Apakah kita termasuk yang demikian? Ada dua jawaban: jika memang tidak, semoga tidak akan pernah melakukan. Dan jika memang iya, semoga kita benar-benar sadar dan tidak mengulangi perbuatan itu.
Menjiplak, mencuri, mengakui, dan beberapa tindakan tak beretika terkait pelanggaran hak cipta terhadap karya orang lain, tentu yang tahu apa itu sengaja dilakukan atau tak sengaja dilakukan, sebatas kita dan Tuhan saja. Yah, kalau tak sengaja, mungkin pelakunya sedang mabuk atau mengigau, hehe. Hanya saja, jika memang melakukan, sungguh, posisi kita jadi serba salah. Mungkin secara sadar kita menganggap hal tersebut adalah sesuatu yang bukan masalah, atau dengan kata lain: sebagai langkah awal untuk belajar menyusun aksara. Alasan yang aneh memang.
Nah, ini yang menarik. Alasan aneh yang demikian pernah kudengar dari seseorang, sebut saja Mister Black. Setahuku dia seorang penulis, sama sepertiku. Kami sama-sama masih belajar. Pada suatu hari (berasa mirip dongeng, ya?), aku menemukan tulisan karyanya di sebuah koran lokal. Eh, ternyata, setelah dibaca dengan seksama, aku merasa sangat yakin, bahwa tulisan tersebut pernah ditulis oleh orang lain yang bukan Mister Black. Padahal aku tahu betapa Mister Black ini bukan manusia yang suka menyamar, apalagi hantu. Identitasnya lengkap, foto di akun media sosialnya real (bukan editan), dan satu lagi: dia merupakan anggota resmi salah satu komunitas kepenulisan besar di Indonesia (maaf, tak kusebutkan nama komunitas tersebut, demi menjaga agar tak terjadi hal yang tak diinginkan).
Setelah kuajak bicara secara tertutup dan kuberi jaminan tak membongkar perbuatannya asal dia mau mengakui, pada akhirnya mengakulah dia. Mulanya dia mengelak, tapi karena kesadaran hati, dia mau mengaku dan berkomitmen meninggalkan kebiasaan buruk yang ternyata selama ini dilakukan tak hanya pada satu-dua penulis saja, tapi lebih dari itu. Luar biasa!
Seperti yang sudah kubilang, dia beralasan bahwa tindakan meng-edit tulisan orang, kemudian mengubah beberapa kata, dan mengurangi beberapa kalimat itu, adalah dengan tujuan ingin belajar menyusun kata. Ah, bagiku pribadi, agak sulit alasan itu kucerna. Tapi sesudah dia berjanji tak akan mengulangi, semua baik-baik saja.
Di luar segala alasan yang sengaja diada-adakan itu, menurutku, secara tak sadar, para pelaku plagiat sesungguhnya telah berbuat picik, yakni ingin segera tenar tanpa mau banyak berpikir (menulis butuh berpikir, 'kan?). Sesederhana itu kok alasannya; sebuah alasan mendasar yang didasari atas terpeliharanya sikap malas.
Nah, ini ... ini dia yang mesti kita hindari. Maka, cara terbaik agar kita tidak ikut dalam arus "kriminalitas" penodaan hak cipta, buang jauh-jauh rasa malas, jaga kejujuran dalam hati, dan bertekadlah bahwa Anda juga bisa: "Dia bisa jadi penulis hebat, kenapa aku tidak?"
Dengan menjaga hal-hal positif tersebut, kita jadi terdorong untuk terus berlatih, berusaha, serta tak mengandalkan teknologi sebagai sarana untuk mengentengkan segala sesuatunya, hingga lupalah kita bahwa bila sejak awal sudah salah jalan, jangan harap kau sampai di puncak kesuksesan! Ya, iyalah. Mana mungkin kita mau naik gunung, tapi memulai pendakian dengan menumpang perahu nelayan (kecuali kalau gunungnya ada di tengah laut)?
Seperti pelawak, penulis dituntut kreatif mengolah ide. Bagi seorang pelawak, nilai kreativitas bagaikan layang-layang putus yang harus dikejar. Ya, bukankah pelawak harus pintar mencari kebaruan, agar penonton tidak bosan, dan agar dia tetap bertahan di atas panggung. Tapi bagi penulis lain lagi. Selain mengejar, seorang penulis mesti dengan bijak menjaga kekreatifannya agar tidak terjebak di jalan buntu, lalu terjadilah plagiasi akibat hilangnya daya kreativitas.
Itulah kenapa kubilang menulis lebih dari sekadar melawak, sebab menulis butuh lebih dari sekadar mencari kebaruan, tetapi juga menjaga kebaruan agar terhindar dari merugikan banyak orang. Bukankah tulisan "buruk"—termasuk hasil plagiat—efek negatifnya lebih gampang meluas, melintasi ruang dan waktu, dan tak sekadar di atas panggung?
Namun demikian, bukan berarti kuanggap melawak adalah sesuatu yang lebih tidak sulit. Melawak sekadar kuambil sebagai contoh perbandingan antara medan pertunjukan di depan mata dalam waktu yang sama, serta arena literasi yang "terabadikan"mesti penulisnya telah tiada. Bukan begitu?
Terakhir, masalah baik buruknya tulisan kita di mata orang, eloknya kita kembalikan kepada diri sendiri saja. Mau atau tidak kita belajar? Mau atau tidak kita berkembang? Mau atau tidak kita maju? Berkualitasnya karya seseorang tergantung bagaimana keseriusan dia dalam berproses. Jika proses yang dilalui instan, maka karya yang dihasilkan tak akan memuaskan pembaca. Sedang jika proses yang dilalui matang, bukan tidak mungkin karya yang diciptakan akan mendunia, bahkan menjadi sejarah penting dalam dunia sastra.
Semoga tulisan ini bermanfaat. Mari menjadikan kegagalan demi kegagalan sebagai cambuk untuk memperbaiki kualitas diri. Dengan begitu, karya yang dihasilkan pun berkualitas; tidak merugikan orang lain, pun tidak merugikan diri sendiri. Semua akan mendapat manfaat. Bukankah itu indah?
Salam santun, salam pencerahan!
Ken H
Pasuruan, 26 Mei 2014
*Ken Hanggara, penulis dan pecinta sastra. Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, novel, artikel/esai, dan review. Telah menerbitkan beberapa buku fiksi. Berdomisili di Pasuruan, Jawa Timur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H