Lihat ke Halaman Asli

Televisi dan Sepotong Rok Mini Rp 1 Miliar

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pengaruh Media Terhadap Budaya Konsumtif Masyarakat

Kapan terakhir kali anda melihat wanita memakai rok panjang menjuntai hingga mata kaki, dan kemeja menutupi seluruh lengan? Bisa jadi, dengan arus mode yang dihembuskan dunia fashion melalui berbagai kanal informasi, wanita seperti itu sudah dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Hal sebaliknya terjadi pada tren penggunaan rok mini.

Saya tidak hendak membahas tentang moral dan etika berpakaian, karena kita sudah sama-sama mendapat mata pelajaran agama di bangku sekolah. Tetapi tentang rok mini, ada makna tersirat di balik barang modern satu itu. Rok mini adalah simbol modernitas, khususnya perempuan. Bagaimana rok mini dipakai, digemari dan dihubungkan dengan status sosial tertentu, itulah yang patut diperbincangkan.

Dalam kurang lebih satu dasarwarsa ini, Indonesia hidup dengan sayap kebebasan informasi, media dan pers, sesudah orde baru runtuh. Pers dan media adalah corong demokrasi, begitu teorinya. Tetapi pada praktiknya, banyak hal menyimpang terjadi. Media menjadi lahan bisnis dan investasi menjanjikan, uang dan kekuasaan, ekonomi dan politik.

Sampah di ruang senggang

Media, khususnya televisi, mendapat banyak kritik baik dari pakar media maupun masyarakat awam. Isi media tidak lagi mencerminkan asas-asas demokrasi, tidak menyediakan ruang bagi khalayak untuk bersuara. Televisi di Indonesia saat ini tidak lebih dari sampah-sampah yang mampir di ruang senggang kita.

Salah satu yang paling digemari dari masa ke masa adalah sinema elektronik (sinetron) yang kebanyakan mencapai ratusan episode. Sinetron-sinetron itu tidak hanya membosankan dari segi cerita, tetapi juga mengajarkan gaya hidup bermewah-mewah, perebutan harta warisan dan sebagainya. Tidak ada satu pun yang mencerminkan budaya asli Indonesia.

Maka tidak heran jika masyarakat Indonesia berperilaku sangat konsumtif. Bandingkan dengan Korea. Negara ginseng itu memproduksi sinema yang memuat kearifan lokal setempat, contoh kecil yaitu menundukkan badan ketika bertemu orang. Drama Korea dinikmati hingga Eropa, memungkinkan warga dunia mengetahui dan mengenal budaya Korea lebih dekat. Begitulah seharusnya.

Apa yang masyarakat lakukan, adalah cerminan dari apa yang mereka tonton. Ada sebuah kalimat yang say abaca dari sebuah buku, berkata, masyarakat yang baik didahului dengan jurnalisme yang berkualitas. Jurnalisme dan media tidak dapat dipisahkan. Saya rasa, masyarakat Indonesia perlu dididik untuk lebih baik, dengan disajikan tontonan berkualitas.

Menurut saya media adalah bagian dari pendidikan. Untuk mencapai kemajuan suatu bangsa, satu hal penting yang harus diperbaiki adalah sumber daya manusia. Memperbaiki isi konten media sama saja memperbaiki pemikiran masyarakat Indonesia, pendidikan dalam bentuk lain. Industri media harus mempertimbangkan pilihan ini. sebab mereka juga punya tanggungjawab publik atas frekuensi yang mereka gunakan untuk kepentingan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline