Pada 24 September lalu, mahasiswa di seluruh Indonesia turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi secara serentak di berbagai kota di Indonesia. Mereka menyuarakan aksi mereka sebagai "Gejayan Memanggil". Gejayan Memanggil pun ramai diberitakan di berbagai media, salah satunya media sosial Twitter. Tagar #GejayanMemanggil sempat menduduki peringkat satu trending topic di Twitter. Aksi yang berlangsung bukan tanpa alasan tetapi hal ini adalah bentuk penolakan para mahasiswa Indonesia terhadap rancangan undang-undang yang dibuat oleh pejabat pemerintahan. Rancangan undang-undang yang menjadi perhatian dan sumber dari aksi yang berlangsung adalah RUU KPK yang sekarang telah disahkan dan menjadi UU KPK, RKUHP, RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual), dan lain-lain. Namun yang menjadi sorotan utama adalah RUU KPK atau sekarang telah menjadi UU KPK.
UU KPK dinilai melemahkan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai satu-satunya lembaga anti-korupsi yang sudah banyak melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada sejumlah pejabat pemerintahan. Mulai dari lingkup terkecil hingga lingkup terbesar tidak luput dari pantauan KPK. Undang-undang ini juga dinilai menguntungkan pihak pejabat pemerintahan dan bahkan memungkinkan narapidana koruptor untuk mendapatkan cuti untuk sekedar jalan-jalan menghirup udara bebas. Padahal para koruptor baik yang telah ditangkap maupun yang belum telah merugikan negara dan kerugian yang disebabkan oleh tindak korupsi bisa milyaran hingga triliunan Rupiah. UU KPK dianggap sebagai 'kematian' KPK.
Setelah UU KPK disahkan, KPK tidak lagi dapat melakukan penyadapan dan OTT. Menurut para anggota DPR RI penyadapan adalah tindakan yang melanggar hak asasi manusia karena penyadapan dilakukan tanpa seizin yang bersangkutan. Oleh karena itu, mahasiswa Indonesia dengan aksi yang mereka sebut dengan Gejayan Memanggil, turun ke jalan dan menyuarakan protes kepada pejabat pemerintahan. Mereka ingin agar KPK tetap memiliki kekuatan untuk memberantas korupsi seperti sedia kala tanpa adanya campur tangan dari pemerintah.
Namun aksi mahasiswa tersebut berujung bentrok. Bentrokan terjadi antara polisi dan demonstran. Polisi berusaha membubarkan massa dengan menembakkan water canon kea rah mahasiswa yang berdemonstrasi. Para mahasiswa itu pun berlarian menghindari tembakan water canon. Aksi polisi itu pun dibalas lemparan batu dan membuat situasi semakin memanas. Tak hanya water canon, polisi pun menembakkan gas air mata untuk mengurai massa. Hal ini kemudian dibalas dengan lemparan batu. Bentrokan mereda saat menjelang malam tetapi pasukan dari kepolisian masih terlihat berjaga di sekitar gedung DPR.
Beberapa waktu setelah aksi unjuk rasa itu terjadi, pihak kepolisian, melalui akun Divisi Humas Polri di Twitter sempat men-tweet jika batu yang digunakan massa melempari pasukannya merupakan pasokan yang dibawa oleh ambulans milik pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tweet ini memicu berbagai opini masyarakat. Sebagian mengatakan bahwa kabar tersebut hanya akal-akalan polisi dan sebagian lagi mengatakan hal tersebut adalah benar. Polisi yang bertugas juga menangkap para tenaga medis yang berada di ambulans yang diduga membawa pasokan batu untuk massa.
Tak lama kemudian muncul sebuat tweet dengan gambar yang menunjukkan bahwa terdapat mobil polisi yang membawa batu meskipun tidak diketahui siapa yang mengambil gambar tersebut. Tak ayal hal ini kembali menimbulkan perdebatan. Setelah tweet tersebut tersebar, Divisi Humas Polri menghapus tweet sebelumnya tentang ambulans yang membawa batu. Diketahui kemudian bahwa ambulans yang diduga membawa batu tersebut terbukti tidak membawa batu seperti yang dikabarkan.
Dalam kasus unjuk rasa 24 September 2019 lalu ini dapat diketahui bagaimana peran media sangat berperan dalam membangun opini dan pandangan publik. Cottam (2012) mengemukakan bahwa media memainkan suatu peran dalam menyiapkan pemberitaan, karena media menentukan isu mana yang dihadirkan paling depan. Media membuat sebagian penontonnya atau pembacanya aktif dalam merespon suatu pemberitaan atau merespon suatu isu namun tidak dapat dipungkiri bila sebagian yang lain, dalam waktu tertentu, dapat menjadi penonton atau pembaca yang pasif dan reaktif (Glynn et al., 1999). Hal ini dapat diketahui bagaimana reaksi sebagian besar masyarakat terkait informasi unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa di Jakarta hingga pemasokan batu yang digunakan untuk melempari pasukan kepolisian yang berusaha membubarkan massa yang sebelumnya telah menembakkan water canon dan gas air mata di berbagai media, terutama media sosial. Dari informasi yang diberikan dan didapatkan dari media, seseorang dapat menentukan di pihak mana ia akan berpihak, apa yang akan dilakukan, dan menentukan pandangannya terhadap suatu isu.
Namun sebelum kita menentukan bagaimana kita bereaksi terhadap suatu pemberitaan atau isu, kita dapat melakukan tinjauan ulang terhadap isu tersebut. Dengan mencari media pembanding atau mencari sumber pemberitaan yang lain, kita dapat menyimpulkan sebuah isu dan kemudian menentukan bagaimana pandangan kita terhadap isu tersebut. Karena tak jarang pula sebuah isu dijadikan tunggangan kepentingan bagi orang-orang yang memiliki kekuatan atau kekuasaan.
Daftar Rujukan :
Cottam, M. L. 2012. Pengantar Psikologi Politik. Jakarta : Rajawali Press