Selaku negara yang memiliki cita-cita perdamaian dunia, sebagaimana tercatat pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea pertama, yakni "Sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan", Indonesia harus berperan aktif dalam membantu penyelesaian konflik di dunia. Sejak dulu, banyak upaya yang telah dilakukan Indonesia dalam mewujudkan perdamaian dunia. Seperti mempelopori Gerakan Non-Blok dan membantu menyelesaikan konflik di Kamboja dengan menyelenggarakan Jakarta Informal Meeting (JIM). Seiring berkembangnya kekuatan internal dan eksternal negara, selayaknya Indonesia tetap dapat mengambil andil dalam permasalahan negara-negara berkonflik, terutama di wilayah terdekat yaitu Asia Tenggara. Hal ini tetap Indonesia lakukan demi melanjutkan misi menjaga perdamaian dunia.
Salah satu negara di Asia Tenggara yang sering mengalami konflik dengan skala mengkhawatirkan, ialah Myanmar. Sejak tahun lalu, di tengah pandemi, kondisi negara Myanmar mengalami guncangan akibat pemerintahan resmi negaranya diambil alih oleh militer adalah Myanmar. Kondisi ini terjadi karena sistem pemerintahan yang dijalankan Myanmar bersifat lemah, kemudian telah terjadi konflik internal serta eksternal yang menyangkut politik, ekonomi, pertahanan-keamanan, sosial-budaya, agama yang telah berlangsung cukup lama. Kekuasaan militer di negara Myanmar cukuplah tinggi, sedangkan sistem demokrasinya sangat rendah. Sehingga jika terjadi suatu konflik atau permasalahan yang menyangkut sistem pemerintahan dan negara, maka militer akan mengambil alih secara paksa kekuasaan negara untuk sementara.
Kudeta militer yang telah berlangsung lama ini dimulai sejak tahun 1962, 1988, dan baru terjadi lagi pada Februari tahun 2021 kemarin. Adanya konflik dari kedua sistem pemerintahan militer dengan sistem pemerintahan demokrasi untuk memerintah negara Myanmar menjadi alasan utama ketidakstabilan kembali terjadi. Sistem demokrasi terus diperjuangkan oleh Aung San Suu Kyi bersama partai politiknya National League for Democracy (NLD) Liga Demokrasi Nasional dalam pemilu-pemilu yang diselenggarakan. Namun, saat pemilu tahun 2021 kemarin, regim militer Myanmar menganggap partai (NLD) ini melakukan kecurangan karena menang secara mutlak dalam pemilu. Oleh karena itu, pada Februari 2021 kemarin rezim militer menangkap Aung San Suu Kyi beserta anggota partai politiknya dan menyatakan situasi darurat militer di negara Myanmar.
Kudeta militer ini merupakan masalah internal yang terjadi antara pemerintahan dan pimpinan di negara Myanmar, negara-negara lain hakikatnya tidak berhak untuk melakukan intervensi atau ikut campur. Namun menilik bahwa permasalahan ini tidaklah mudah dan cepat untuk diselesaikan, perlu adanya perhatian dan kerjasama antar negara kepada pihak-pihak pemerintahan internal negara Myanmar untuk mewujudkan kedamaian dan penyelesaian kudeta militer ini. Sampai pada hari ini pun kudeta militer belum mencapai kesepakatan damai, muncul berbagai aksi pemberontakan dari rakyat sipil kepada rezim militer di Myanmar yang juga menimbulkan banyak korban jiwa. Kerugian yang diakibatkan oleh kudeta militer Myanmar telah terjadi cukup lama ini telah menjadi perhatian khusus terutama bagi negara-negara anggota ASEAN dan tentu saja Indonesia.
Sebagai negara tetangga, untuk dapat membantu Myanmar dalam meredakan kudeta, Indonesia harus terlebih dahulu melakukan pendekatan. Ahli Kajian ASEAN, Pusat Penelitian Politik LIPI, Lidya C. Sinaga, merumuskan lima poin utama mengenai sikap yang harus dilakukan oleh negara di ASEAN. Pertama, prinsip non-intervensi yang fleksibel dapat dilakukan dalam batasan prinsip-prinsip ASEAN lainnya, terutama kedaulatan nasional dan konsensus. Kedua, negara anggota ASEAN dapat mengajukan inisiatif diplomatik dalam format dialog dan komunikasi dengan junta militer. Poin ketiga yang diuraikan Lidya adalah bahwa janji pemimpin junta militer untuk melakukan pemilu dalam waktu satu tahun ini, merupakan salah satu hal krusial yang harus dikawal oleh ASEAN. Keempat, penting bagi negara tetangga untuk juga membangun dialog dengan kelompok masyarakat sipil di Myanmar dan di ASEAN. Kelima, negara yang mengintervensi harus mampu menjadi jembatan ke dalam dan ke luar ASEAN.
Indonesia tengah berupaya membantu menyelesaikan konflik Myanmar dalam berbagai bentuk, seperti melalui hubungan regional, bilateral, dan multilateral. Salah satu contohnya melakukan diplomasi "ulang alik", Menteri Luar Negeri Indonesia mengunjungi Thailand, Malaysia, dan negara yang tergabung dalam ASEAN untuk meminta dukungan dalam upaya mendorong demokrasi inklusif di Myanmar. Indonesia juga tengah mengupayakan kesepakatan anggota-anggota dalam meyakinkan Junta militer Myanmar agar memenuhi janji menyelenggarakan pemilihan umum jangka satu tahun. Indonesia mengambil tindakan yang tepat dalam menangani hal tersebut karena Indonesia mempunyai pengalaman dalam mewujudkan demokrasi dari rezim otoriter dan mampu menggelar pemilihan presiden secara langsung. Kemudian kedudukan Indonesia sebagai "jangkar" dalam asosiasi Negara yang ada di Asia tenggara karena 50% penduduk ASEAN berada di Indonesia. Dengan Indonesia memiliki sikap natural leader, diharapkan dapat membangun kedamaian dan meningkatkan kawasan ASEAN sebagai kawasan yang aman.
Harapan dari terpilihnya Indonesia sebagai ketua ASEAN selanjutnya di tahun 2023, akan memudahkan Indonesia dalam melaksanakan misi perdamaian. Indonesia kelak mempunyai kewenangan lebih dalam menjalankan kebijakan dan secara resmi melaksanakan campur tangan internal negara Myanmar serta dapat mengarahkan fokus negara lain dalam permasalahan kudeta di Myanmar. Selain itu, Indonesia juga mempunyai kekuasaan untuk mengajak seluruh anggota ASEAN untuk melakukan intervensi konflik atau menjadikan permasalahan kudeta di Myanmar sebagai salah satu tugas utama di ASEAN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H