Tergelitik membaca judul salah satu artikel di halaman sebuah website publik. Mulai Kapan sebaiknya belajar bahasa bilingual..
Ini kutipan ilmiah hasil wawancara dengan seorang Psikolog kita, yang saya cuplik meski tidak lengkap :
1. Ada pendapat yang mengatakan sejak bayi sudah dapat diajarkan bahasa bilingual. Misalnya anak dengan bapak orang Indonesia yang berbicara dengan Bahasa Indonesia dan ibunya orang Inggris yang berbicara dengan Bahasa Inggris. Jadi kedua orangtua tersebut sebaiknya menggunakan bahasanya masing-masing. Selain itu, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa sejak bayi, anak sudah dapat diajarkan 2 bahasa karena nanti di otak, akan terbentuk bagian masing-masing. Bahasa itu ada yang untuk memahami, ada yang untuk mengujarkan. Pusat bicara dan pusat pemahaman sama sekali tidak bisa dipisahkan karena saling berhubungan. Anak-anak itu mengerti dulu, nanti saat mencapai usia tertentu, mereka akan mulai bicara.
2. Tapi di sisi lain ada yang mengatakan kalau sebaiknya 1 bahasa, yaitu bahasa ibu dimantapkan dulu baru anak belajar bahasa lain. Namun, kalau diamati anak-anak di Indonesia itu banyak yang bilingual walaupun bilingualnya Jawa dengan Indonesia, misalnya. Anak-anak itu akan belajar bahasa dengan mudah, kenapa? Karena bahasa tersebut terpapar setiap hari, mereka mendengar lalu melihat secara langsung kegiatan atau benda yang dimaksudkannya. Misalnya, makan bahasa Indonesianya makan, atau bahasa Sundanya tuang. Jadi mereka tidak usah belajar bahasa secara formal seperti ikut kursus, tetapi anak akan mengerti bahasa itu dengan sendirinya. Tapi untuk anak-anak yang mengalami keterlambatan perkembangan bahasa, cara tersebut akan membingungkan.
Jadi ada kasus khusus untuk anak yang perkembangan bahasa dan bicaranya terlambat, mereka akan lebih sulit mengerti. Untuk kasus-kasus seperti itu, sebaiknya mereka dimantapkan 1 bahasa dulu baru bahasa lain. Selain itu, ada orang-orang sekarang yang menganggap bahasa asing itu sangat penting, sehingga menggunakan bahasa yang berbeda-beda di rumahnya, misalnya neneknya berbahasa Mandarin, ibunya berbahasa Inggris, ayahnya berbahasa Indonesia, mbaknya berbahasa Jawa, itu akan membingungkan karena anak tidak paham penggunaannya.
Jadi kembali ke anak-anak yang sudah paham banyak tetapi sulit untuk bicara, ada yang cepat, ada yang lambat. Jadi orangtua sebaiknya sensitif, memerhatikan apakah anaknya bingung atau tidak. Kalau anaknya bingung, sebaiknya tidak dipaksakan untuk belajar 2, apalagi 3 atau 4 bahasa. Bahwa mereka sering diajak bicara tidak apa-apa sehingga mereka dapat memungut bahasa itu dengan sendirinya.
Naah....terlepas dari pendapat ilmiah Ibu Psikolog di atas, bila melihat fenomena yang happening saat ini adalah orang tua setengah memaksa anaknya belajar bahasa asing, terutama bahasa Inggris, tanpa pandang usia. Bahkan banyak orang tua cenderung memaksa diri untuk mengirimkan anak-anaknya di sekolah Bilingual. Padahal sekolah semacam itu tidak murah. Tetapi orang rela menguras koceknya untuk menyekolahkan di Sekolah-sekolah Bilingual. Entah terdorong karena memang kualitas sistem pendidikan di sekolah itu memang lebih baik dari sekolah konvensional atau memang menganggap anaknya akan memiliki keuntungan ekstra memiliki kompetensi berbahasa asing. Padahal jelas-jelas dari sisi ilmu psikologi terdeteksi adanya potensi bahwa justru anak merasa dipaksa untuk tambahan ilmu yang anak-anak ini belum siap menerimanya karena faktor tumbuh kembang usianya.
Lucunya, para Papa mama, mommy Daddy ini justru bangga kalau anaknya mampu berbahasa asing lebih fasih dibandingkan bahasa Indonesianya atau dibandingkan bahasa daerah asalnya. Betul siiiyy... kalau bahasa merupakan jalan menuju pemahaman akan dunia luar sana., dan sekaligua membantua anak menghadapi era global. Tapi apa iya...harus dipaksakan begitu sampai mengalahkan kemampuan berbicara dalam bahasa ibunya. Coba deh lihat sekolah di daerah atau di luar kota Jakarta, memiliki muatan lokal pelajaran bahasa daerah. Tapi muatan likal ini lebih sering dianggap beban tambahan bagi anak-anak . Orang tua tidak menganggap pelajaran bahasa daerah penting, guru pun kurang lebih rasanya demikian..apalagi anak-anak. hanya supaya nilainya bagus saja, atau ya..asal gak merah rapornya. Akibatnya apa...bahasa daerah yang bila digali memiliki begitu tinggi maknanya dan keindahannya..tidak dipahami oleh anak-anak kita. begitu lulus ..lupa lagi euy..."nte tiasa deui..katanya.Padahal grammer bahasa daerah tidak kalah rumit dan indahnya dibandingkan bahasa Inggris, malah kadang bertingkat-tingkat penggunaannya sesuai kelas sosial penggunanya,..nah lo..keren kan..?
Pemahaman Bilingual selalu dipersepsikan sebagai bahasa indonesia dan bahasa Inggris. Bahasa Daerah tidak dihitung di dalamnya. Padahal plus menguasai bahasa Inggris artinya bukan Bi lagi tapi Tri..banyak orang tua tidak menyadarinya. Dan tidak ambil pusing.
Jadi boleh dibilang memang menyedihkan fenomena ini. Banyak orang tua sibuk mencekoki anaknya dengan bahasa asing tapi lupa mengajar anak-anaknya dengan tatanan bahasa daerah asalnya sendiri. sayang sekali...
Saya ingin share (jiaahh..share) Kebetulan anak saya sekolah di sekolah yang masih agak konvensional. Bahasa Inggris dipelajari dengan so-so..gitu deh. Pernah akibat tiba-tiba menyadari pentingnya berbahsa Inggris dengan baik di jaman milenium ini..saya coba mempraktekkan membiasakan anak berbahasa Inggris pada perintah-perintah sederhana. Tapi namanya anak-anak..sudah diajarin kemarin hari ini lupa. diajarin B yang A lupa..akibatnya beginih deh hasil percakapannya :