Bila harga rokok sebungkus 50 ribu rupiah, orang-orang miskin dan anak-anak akan berhenti membeli rokok. Benarkah? Penelitian ilmiah tentang ini sudah dilakukan oleh seorang Professor dari Universitas Indonesia. Berarti bisa dipastikan, secara ilmiah, pernyataan tersebut benar.
Lalu kenapa berani menyatakan ada kesalahan fatal di survei Prof Thabrany tersebut? Di mana, di apa atau di siapa letak kesalahan fatalnya?
Suatu penelitian ilmiah, selalu dilakukan dalam batasan-batasan yang ketat atas permasalahan yang diteliti. Seperti melihat melalui suatu mikroskop, hanya fokus pada suatu titik yang sangat sempit.
Prof Thabrany dalam survei awalnya, bertanya kepada warga miskin dan anak-anak, apakah mereka akan tetap membeli bila harga rokok 25 ribu sebungkus. Mereka yang ditanya menjawab tetap akan membeli. Bahkan pada survei berikutnya dengan angka harga rokok 35 ribu sebungkus, mereka tetap akan membeli, dengan berat hati.
Baru pada angka 50 ribu, anak-anak dan warga miskin menyatakan tidak akan membeli rokok. Perhatikan dengan jelas !!! Tidak akan membeli.
Tapi tidak akan membeli rokok harga 50 ribu bukan berarti tidak akan merokok. Bukan berarti mereka tidak akan membeli rokok yang harganya tidak 50 ribu. Juga bukan berarti mereka akan berhenti merokok sigaret produksi pabrik gelap. Bukan berarti mereka akan berhenti merokok.
Mari diperketat dan dilengkapi kesimpulan hasil penelitian Prof Thabrany. Anak-anak dan orang-orang miskin tidak akan membeli rokok resmi produksi perusahaan rokok yang harganya ditentukan oleh pemerintah per bungkus 50 ribu rupiah, yang di dalamnya mengandung komponen pajak dan cukai.
Sampai saat ini masih beredar rokok-rokok tanpa cukai di kios-kios rokok. Bila harga rokok legal melambung ke angka 50 ribu, para pemain rokok tanpa cukai akan semakin melambung pula jumlahnya. Apa mereka tidak takut sanksi peraturan hukum? Wow..., orang Indonesia itu pemberani, dan berjiwa petualang seperti digambarkan dalam iklan-iklan rokok.
Tentara Inggris, Jepang, Kumpenii saja dulu berani dihadapi. Petugas Bea Cukai saudara sebangsa sendiri, tak seberapa menakutkan. Di Indonesia ada budaya merokok, dan ada pula budaya uang rokok. Ada pula peribahasa: pagar makan tanaman. Tanaman liar itu diberantas, tapi juga dipelihara karena ada hasilnya, dan agar tetap dapat diberantas. Lhoo !!! Hehehe...
Yang tidak terjangkau oleh peredaran rokok tanpa cukai, bisa melinting rokok sendiri. Sekarang pun produk rokok tingwe masih ada. Toko-toko penjual tembakau juga masih ada di tiap kota. Tembakau rasa rokok merk G, rasa merk J, rasa segala macam merk ada. Juga rasa tembakau asli non merk, khas daerah Te, daerah Ke, daerah De, dan lain-lain.