Lihat ke Halaman Asli

sagittaries_room

the strange room that sharing random things

Sajak Sapardi: Dua Kalimat yang Menganalogikan Hubungan Tuhan-Manusia

Diperbarui: 7 November 2020   14:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Selaras dengan judul yang saya pilih, tentu tulisan ini berkaitan dengan sosok sastrawan yang identik dengan topi petnya. Memiliki nama lengkap Sapardi Djoko Damono atau dikenal juga dengan panggilan SDD yang merupakan sastrawan Indonesia angkatan 1966-1970-an adalah pengarang dari puisi-mini berjudul "Tuan". Mengapa saya sebut sebagai puisi-mini? Tak lepas dari jumlah larik dari puisi tersebut yang hanya terdiri dari dua baris saja. Maka, sesuai dengan baris kedua judul di atas, puisi-mini "Tuan" inilah yang akan menjadi pokok pembahasan tulisan ini.

            Lantas, bagaimana pula dua baris dari "Tuan" ini bisa menganalogikan hubungan Tuhan dan manusia? Mari kita coba baca puisi berikut ini.

TUAN

Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar

saya sedang keluar.

Sekarang, coba perhatikan, adakah perasaan janggal yang timbul setelah membaca puisi itu? Sebelum kita membahas mengenai kejanggalan yang dibuat oleh pengarang, tidak ada salahnya kita pelajari dulu permainan persajakannya agar lebih dapat memaknai dan mengapresiasi puisi "Tuan".

            SDD memilih kata sedemikian rupa, hingga puisi ini menjadi apik karena menampilkan persamaan bunyi akhir pada setiap kata di larik pertama: Tuan Tuhan, bukan? dan pengulangan bunyi pada akhir setiap larik: sebentar-keluar. Juga kesamaan suku kata awal: Tuan Tuhan, bukan? Tunggu.... Dari penjelasan itu, dapat diasumsikan bahwa SDD tidak mengabaikan nilai estetika pada puisinya. Namun-seperti yang telah dikatakan di awal-rangkaian pilihan kata tersebut menjadi janggal dan terkesan tidak masuk akal. Jikalau ditafsirkan secara kasar, menurut hubungan kata satu dengan yang lain, dapat diperoleh narasi sebagai berikut: ada suatu kasus dimana seseorang sedang berbicara dengan Tuhan, yang disebutnya sebagai "Tuan". Pada awalnya, tokoh "Saya" bertanya untuk memastikan bahwa yang diajak bicara adalah Tuhan, tetapi pertanyaan itu tidak dijawab, ia langsung melanjutkan omongannya dengan menyuruh Tuhan menunggu, disebabkan "Saya" sedang keluar.

            Tentu cerita itu bukan peristiwa yang normal terjadi. Bukan hal lazim seseorang menggunakan kata "Tuan" sebagai kata ganti Tuhan. Tetapi itulah kreativitas seniman sejati. Ada hal yang lebih menonjol lagi, berani-beraninya tokoh "Saya" memerintah Tuhan untuk menunggu, terlebih ia menyatakan bahwa dirinya sedang keluar. Sesuatu yang tidak masuk akal, jika memang benar tokoh "Saya" yang berbicara langsung dengan Tuhan, tetapi mengapa justru ia menyatakan bahwa dirinya sendiri sedang keluar-ibarat kucing yang bukannya mengeong, malahan mengeluarkan suara "kuciing". Menurut Maman S. Mahayana dalam Paradoks, ada tindakan membohongi: usaha pengelabuan Tuhan oleh tokoh "Saya", padahal bentuk kebohongan itu sangat kentara. Dalam hal ini, Maman berpendapat, lirik Tunggu sebentar-saya sedang keluar sebenarnya sebuah paradoks; membohongi sesuatu yang tidak dapat dibohongi; Tuhan. Dengan begitu, sejatinya isi puisi ini relevan dengan ajaran agama, terutama yang saya tahu dalam agama Islam, setiap perilaku baik-buruk manusia akan ada yang mencatat dan semua itu atas seizin Allah, Tuhan yang Maha Mengetahui. Maka, sesuatu yang mustahil apabila manusia bisa membohongi Tuhan. Barangkali manusia bisa menipu sesamanya, tetapi Tuhan mengetahui kebenarannya.

            Dalam sudut pandang yang berbeda, Okke Kusuma Sumantri Zaimar dalam Membaca Lima Sajak Sapardi, menjelaskan makna di balik frasa Tunggu sebentar, merupakan sesuatu hal yang selalu dilakukan manusia. Dalam menjalankan ibadah, manusia selalu "menyuruh" Tuhan untuk menunggu. Setiap niat baik, bahkan hendak sembahyang pun, kita selalu menunda-nunda dalam mengerjakannya. Kemudian kalimat saya sedang keluar ditafsirkan sebagai "saya sedang keluar dari jalan-Mu" atau "saya tidak sedang melakukan perintah-Mu".

            Kembali dengan pernyataan saya sebelumnya, yang mengatakan bahwa dalam puisi ini ada kejanggalan yang dibuat oleh pengarangnya, setelah memahami makna di balik puisi tersebut, pernyataan saya perbaiki menjadi bahwasannya dalam puisi "Tuan" citraan yang ada tidak dibuat-buat atau hanya sekedar imajinasi liar SDD, melainkan memang atas dasar fakta yang ada, meski terkesan janggal (baca: bertentangan). Dalam hal ini berarti ketika mengkaji puisi-puisi Sapardi Djoko Damono dibutuhkan pengetahuan yang luas dan pemikiran yang dalam.

            Lantas, apa pula kesimpulan dari tafsir-tafsir puisi "Tuan"? Bagi saya, pandangan Seno Gumira Ajidarma (SGA) dalam tulisannya yang berjudul "Apakah Engkau Ada?" dapat mewakili tafsir-tafsir yang telah saya sebutkan. SGA mengemukakan bahwa dalam "Tuan" diperlihatkan adanya ruang kebebasan yang diberikan Tuhan sebagai pencipta kepada manusia. Manusia diberi hak untuk memilih mengikuti jalan Tuhan atau justru menolak jalan Tuhan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline