Perseteruan dagang antara China dan Amerika makin meningkat tensinya, Presiden AS Donald Trump telah mengancam akan meningkatkan tensi perdagangan dengan tarif sebesar US$400 miliar dalam barang-barang China jika Beijing membalas tarif AS yang dikenakan mulai hari Jumat mendatang pada 6 Juli 2018, AS akan menerapkan tarif pada US$34 miliar impor China. Bila tarif tambahan disetujui publik maka AS akan mengincar US$50 miliar impor China. Produk tersebut akan dikenakan tarif 25%.Pada hari yang sama, pemerintah China juga mengumumkan pengenaan bea masuk pada US$34 miliar produk AS, aturan ini juga berlaku 6Juli.
Jika ancaman itu benar dilaksanakan diperkirakan akan merusak mata rantai perdagangan global khusunya negara negara berkembang, termasuk eksport Indonesia ke China.
Kurs hari ini ditutup melemah 265 basis point dibanding hari kemarin menjadi Rp 14.635 per US $, melihat tensi perang dagang makin tinggi akan menjadi sentimen negative terhadap rupiah. Menghadapi situasi yang berubah setiap saat dimana Indonesia masih berupaya memperkecil defisit transaksi berjalan diperlukan langkah kongkrit untuk menahan laju pelemahan rupiah.
Fluktuasi rupiah sulit diprediksi, diperkirakan akan masih terjadi pelemahan, para investor akan terdorong mencari investasi yang paling aman berupa mata uang US $ yang dinilai menguntungkan. Jika pelemahan nilai tukar terus berlangsung, diprediksi para pelaku ritel akan menaikan harga jual yang dipengaruhi oleh kenaikan production cost.
Usaha ritel umumnya memiliki stock mata dagangan, untuk sementara mungkin saja belum menaikkan harga jual, namun jika rupiah terus mengalami pelemahan, maka mau tidak mau harus menyesaikan harga. Yang paling terkena imbas pelemahan nilai tukar adalah industri makanan yang masih mengandung konten import seperti terigu dan juga industri kosmetika.
Hubungangan perdagangan dengan China masih terjadi defisit, BPS mencatat per Mei 2018, kinerja ekspor Indonesia mencapai US$ 16,12 miliar atau meningkat 10,90% dibandingkan April 2018, sedangkan dibandingkan Mei 2017 meningkat 12,47%. Sebaliknya, import per Mei 2018 sebesar US$ 17,64 miliar. Angka ini naik 28,12% dibandingkan Mei 2017. China masih jadi negara asal impor terbesar. Defisit perdagangan inilah menjadi salah satu pemicu pelemahan rupiah.
Selain itu China tercatat sebagai negara yang paling banyak memasok laptop ke Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, impor laptop dari China di Maret 2018 sebanyak (netto) 756.983 kg dengan nilai Rp 1,4 triliun. Dari 3 juta unit kebutuhan laptop di Indonesia, lebih dari 60 % dipasok dari dari import yang didominasi produk china. Bukan itu saja, dalam waktu dekat DKI akan mengimport 10.000 ton bawang putih dari China.
Diperkirakan, imbas dari perang dagang antara China dan Amerika Serikat, China akan melirik Indonesia sebagai tujuan ekport potensialnya, produk China akan lebih membanjiri Indonesia.
Sebetulnya, masih ada waktu pemerintah untuk mengambil langkah menahan laju pelemahan, namun langkah pemerintah tersebut akan berlomba dengan tensi pereseteruan dagang antara China dan Amerika Serikat. Seperti langkah yang diambil BI menaikan suku bunga acuan juga berlomba dengan dengan langkah yang ditempuh the Fed.
Indonesia berencana membatasi import, namun melihat data statistik diatas, kemungkinan China akan lebih menggenjot exportnya ke Indonesia. Dan harus diingat, Indonesia adalah anggota World Trade Organization ( WTO ) dalam era perdagangan bebas dunia. Pembatasan import hanya mungkin terjadi kalau diinisiasi oleh pelaku perdagangan atau pemilik uang.
Dalam sudut pandang yang sempit, depresiasi rupiah merupakan berkah karena akan meraup rupiah lebih banyak, namun jika kita melihat pada neraca perdagangan yang mengalami defisit akan lebih banyak mengeluarkan rupiah untuk barang yang sama. Seperti halnya para penguasaha ritel yang akan menaikkan harga jual, masyarakat akan merogoh kocek lebih dalam lagi untuk mendapatkan barang kebutuhan yang sama seperti sebelumnya. Di sektor properti, mungkin menjadi berkah bagi asing, harga menjadi lebih murah.