Rupiah makin melemah terhadap Dollar. Hari ini sudah menyentuh level Rp 14.428. Faktor internal diindikasikan oleh adanya defisit neraca perdagangan.
Menyikapi hal tersebut, Menkeu Sri Mulyani menyatakan melakukan pembatasan impor, dengan pengecualian hanya untuk bahan-bahan dan barang modal yang berguna bagi perekonomian Indonesia.
Kebijakan seperti ini tentunya akan berdampak tindakan serupa oleh negara lain yang konsekuensinya justru akan menghambat expor.
Jalur lain ditempuh pemerintah, salah satunya melalui Bank Indonesia yang sepanjang tahun ini sudah tiga kali menaikkan suku bunga acuan menjadi 5,25 %. Namun agaknya belum cukup efektif menahan laju penguatan Dollar.
Yang menjadi pertanyaan, apakah langkah Menkeu membatasi impor dapat efektif mendukung langkah Bank Indonesia?
Secara umum dalam persfektif makro ekonomi ada korelasinya, namun dalam praktiknya akan sulit diterapkan. Sebab, langkah BI merupaya upaya menciptakan daya tarik investor menanamkan investasinya dalam rupiah, sedangkan langkah yang dilakukan oleh Sri Mulyani adalah untuk penyeimbangan aliran devisa dengan melakukan kontrol terhadap transaksi berjalan.
Persoalannya, dapatkah pemilik uang diatur oleh negara untuk membelanjakan uangnya?
Dalam menghimpun dana, pemerintah menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) ritel bisa dibeli secara online pada akhir Mei 2018.
Pemasaran SBN ritel online ini juga melibatkan financial technology (fintech) yang sudah mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan bunga 7,5 %. Bunga tersebut di atas bunga deposito perbankan antara 5 - 6 %.
Namun dengan kenaikan suku bunga acuan BI, kemungkinan bunga perbankan juga akan mengalami koreksi sehingga bersaing dengan bunga SBN.
Penerimaan SBN sudah diplot penggunaanya dalam APBN sehingga langkah BI menaikkan acuan suku bunga yang lebih tinggi lagi akan berbenturan dengan kepentingan pemerintah.