Ditengah perhatian pada penyelenggaraan Pilkada serentak, rupiah semakin melemah, kurs tengah hari ini berada pada level Rp 14.271 per US dolarnya dan merupakan nilai tukar terlemah sejak krisis moneter 1998.
Cadangan devisa pada akhir Mei tercatat sebesar US $ 122,9 milyar, atau setara dengan kebutuhan devisa untuk import dan pembayaran hutang luar negeri selama 7,2 bulan, jumlah ini lebih baik dari kecukupan standar internasional selama 3 bulan.
Namun, nilai tukar yang terus melemah akan mendorong terjadinya pengetatan peredaran rupiah yang merupakan kebijakan moneter umumnya dengan menaikan basis suku bunga BI. Efeknya adalah pada tingkat produktivitas yang pada giliranya akan menurunkan kemampuan eksport dan penurunan daya beli.
Dunia masih dibayangi oleh kenaikan suku bunga The Fed dan perang tarif perdagangan antara Amerika serikat dan China, para investor masih akan tetap mencari investasi aman berupa mata uang US $.
Dalam kondisi demikian, bukan tidak mungkin BI sebagai pemegang otoritas moneter akan melakukan intervensi pasar uang yang akan semakin mempercepat penggerusan cadangan devisa atau membiarkan mekanisme pasar uang berlaku.
Sebelumnya, asumsi nilai tukar APBN tahun 2018 dipatok Rp 13.500, namun jika melihat realita terjadi pelemahan nilai rupiah hingga pada level Rp 14.271 per US $, selisih kurs tersebut cukup mempengaruhi pada perhitungan pembayaran hutang luar negeri yang jatuh tempo. Terlebih terjadinya kenaikan harga minyak dunia, selisih kurs tersebut akan semakin membebani APBN atau menaikan harga BBM.
Bagi negara negara surplus perdagangan, pelemahan nilai tukar yang juga dialami oleh negara2 lain, penguatan mata uang dolar justru menguntungkan karena akan memperoleh pendapatan yang lebih besar.
Indonesia merupakan pasar potensial produk negara Industri otomotif, tahun 2016 menurut data statistik berjumlah 129.281.073 unit yang membutuhkan komsusi BBM yang sangat besar. Jika diakumulasikan, sepanjang Januari hingga April 2018, neraca perdagangan mengalami defisit sebesar Rp 1,31 miliar dollar AS yang dipicu oleh defisit sebesar 3,81 miliar dollar AS untuk migas dan surplus sebesar 2,5 miliar dollar AS untuk sektor non-migas.
Pemerintah yang mengedepakan pembangunan infrastruktur dengan pinjaman luar negeri, disatu sisi merupakan bentuk pelayanan kepada masyarakat, namun disisi lain menjadikan Indonesia menjadi pangsa produk otomotif yang lebih besar lagi.
Jepang, sebagai negara produsen otomotif telah menerapkan syarat2 kepemilikan kendaraan pribadi yang cukup berat untuk memaksa rakyatnya beralih menggunakan transportasi publik yang dibangun.
Dalam kondisi nilai tukar yang makin melemah, implikasi pada APBN makin membengkaknya subsidy BBM dan pembengkakan pembayaran hutang luar negeri.