Alfian Tanjung divonis bebas karena dianggap tidak terbukti bersalah melakukan ujaran kebencian lewat cuitan 'PDIP 85% isinya kader PKI' di akun Twitter. Vonis bebas itu disebut Alfian sebagai sikap jelas agar Indonesia melawan gerakan komunis,setelah menjalani sidang pembacaan vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat.
Alfian bebas dari tuntutan 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta yang merupakan kasus keduanya. Alfian tidak terbukti bersalah melakukan ujaran kebencian lewat cuitan 'PDIP 85% isinya kader PKI' di akun Twitter karena dianggap hakim hanya melakukan copy-paste dari media.
Kasus yang pertama, Alfian dilaporkan karena dalam ceramahnya yang diunggah di YouTube dianggap menyinggung nama Nezar Patria dan Teten Masduki sebagai antek PKI. Alfian menyebut Teten sebagai komunis. Bahkan pihak Istana Kepresidenan juga dituding kerap melakukan rapat soal PKI setiap pukul 20.00 WIB sejak Mei 2016. Sidang bergulir dan Alfian divonis 2 tahun penjara pada 13 Desember 2017 di Pengadilan Negeri Surabaya.
Dua kasus serupa tapi ujungnya tak sama, Vonis bebas yang dijatuhkan hakim kepada Alfian Tanjung dalam kasus ujaran kebencian dinilai menjadi pukulan telak bagi aparat Polda Metro Jaya selaku penyidik. Vonis bebas itu menjadi penanda bahwa kriminalisasi ulama semakin nyata sebagai mana pandangan Ketua Presidium IPW ( Indonesian Police Watch ).
Kalau kita bicara kepentingan, hanya Tuhan dan penyidik yang tau sebab yang dijadikan pedoman adalah KUHAP, sepanjang menurut penyidik tidak melenceng atau mudah dipatahkan, perkara bisa maju ke pengadilan. Namun demikian, tak menuutp kemungkinan dimuati sebuah kepentingan terutama yang bermotifasi uang seperti oknum hakim yang dicokok KPK dalam OTT KPK.
Seperti yang terjadi di Polresta Bandar Lampung, seorang pengusaha pengembang perumahan ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penipuan terhadap calon pembeli rumah yang ditawarkan oleh perusahaan pengembang yang dipimpinnya.
Belakangan diketahui dari sidang praperadilan yang dinyatakan gugur karena sidang pokok pidana sudah dimulai, penyidik tidak menggunakan tata cara penanganan perkara korporasi sesuai Perma no 13 tahun 2016, tentu saja perusahaan langsung tutup dan tidak ada solusi.
Dalam sidang terungkap, para korban beralasan melapor polisi karena tidak dapat menemui pimpinan perusahaan. Analoginya, kalau pemilik perusahaan tidak dapat ditemui maka menjadi tindakan pidana pemilik perusahaan itu. Persepsi hukum demikian bisa terjadi dengan mengabaikan Perma tersebut yang salah satu terbitnya didasarkan pada pertimbangan adanya kekosongan hukum untuk menjangkau korporasi dalam KUHAP.
Terungkap lebih lanjut, gagalnya pembangunan rumah para calon pembeli yang sudah membayar uang muka karena lokasi perumahan tersebut masuk wilayah zona merah dimana sebelumnya perizinan sudah diproses dan dilengkapi persyaratanya. Zona merah atau jalur hijau, mungkin hanya istilah yang peruntukannya adalah untuk konservasi. Disini timbul kerancuan, wilayah itu boleh dibangun tapi peruntukan pariwisata dan juga BPN sudah menerbitkan sertifikat.
Yang unik lagi, dalam persidangan hakim menyarankan kepada pemilik tanah asal yang menjadi saksi agar mengembalikan uang pembayaran tanah kepada terdakwa sedangkan dia duduk sebagai pesakitan karena dakwaan penipuan.
Hukum itu kadang membingungkan, seperti menyangkut perkara pengembang itu tadi, perseroan telah menanamkan investasinya di tanah, baik untuk pembelian tanah maupun untuk pengolahannya serta "membayar" perizinan, kalau mengikuti saran hakim aga pemilik tanah asal mengembalikan uang terdakwa, kalau teralisir saran tersebut, uang itu perlukah untuk membayar kerugian calon pembeli? Mestinya menjadi masalah keperdataan, lalu apa gunanya dia disangka menipu?