Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam menarik investor menanamkan modalnya di Indonesia namun yang paling utama adalah stabilitas politik dan keamanan. Dari rangkaian peristiwa Mako Brimop disusul dengan penusukan personel Brimob di halaman Mako Brimob dan serangkaian peledakan bom di tiga gereja di Surabaya akan berpengaruh pada citra stabilitas dan keamanan nasional. Peristiwa semacam ini biasanya akan diikuti keluarnya travel warning oleh negara asing yang menghimbau warganya untuk tidak mengunjungi Indonesia.
Gejolak politik menjelang pilpres, banyak pihak menunggu memutuskan investasinya di Indonesia yang mendorong investor untuk bermain di pasar uang. Hal seperti bukanlah iklim yang menggembirakan bagi nilai tukar rupiah yang sedang mengalami depresiasi. Terlebih SBN yang dilepas negara kurang begitu diminati, dari target Rp. 17 triliun hanya tercapai Rp. 7,7 triliun. Paling tidak terjadi defisit anggaran Rp 9,3 triliun yang alternatifnya mencari pinjaman bilateral ataupun multirateral.
Ditengah perang dagang antara China dan Amerika Serikat, US $ makin menguat dan tidak terprediksi sampai kapan situasi berlangsung. Perangkat BI untuk melakukan intervensi pasar uang membuat cadangan devisa terus tergerus, walaupun rasio cadangan devisa terhadap kebutuhan pembayaran import masih cukup untuk 7 bulan kedepan, bukan tidak mungkin terus mengalami penurunan untuk menstabilkan nilai tukar.
Banyak pihak menghimbau BI agar menaikan suku bunga yang artinya akan diikuti pengetatatan uang beredar yang akan menjadi beban keuangan dan menaikan biaya sektor usaha real. Manikan suku bunga bukanlah pilihan yang populis karena imbasnya akan memperlemah daya beli masyrakat yang menjadi citra minus dalam menjaring simpati.
Kalau kita melihat akar permasalah kerusuhan di Mako Brimob yang disebutkan karena masalah sepele, karena masalah makanan, jika rakyat mengalami kesulitan ekonomi bukan tidak mungkin akan menimbulkan instabilitas politik.
Apalagi saat ini rakyat sudah terbelah pro kontra yang begitu marak di media sosial, keterpurukan bisa diakibatkan oleh faktor internal disamping faktor ekternal seperti penguatan mata uang dolar Amerika Serikat.
Tak urung, para cendiakia muslim angkat bicara tentang agama karena memang agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial masyarakat. Namun yang terkesan adalah timbul phobia terhadap Islam. Padahal, prilaku menyimpang ajaran tersebut jumlahnya sangat sedikit, sebagian besar bangsa ini menghendaki NKRI tetap utuh, tak ingin seperti Korea yang pecah dan mencerai beraikan tali silaturahmi kekeluargaan. Bisa dibayangkan akibatnya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan kita kalau sampai NKRI runtuh.
Belum lagi kenaikan harga minyak bumi yang menenbus US $ 70 perbarelnya makin menjadi beban pemerintah atau menghilangkan subsidy yang pastinya akan menaikkan harga kebutuhan pokok masyarakat. Banyak problem yang dihadapi oleh Jokowi sebagai imbas keterpurukan rupiah yang menjadi amunisi pihak oposisi karena pada dasarnya mencari kelemahan pemeintah yang berkuasa.
Pakan ternak yang sebagian besar bahan baku harus import tidak terelakan harus menaikkan harga yang mempengaruhi harga jual ternak, demikian juga kedelai dan terigu yang masih mengandalkan impor.
Antara janji kampanye dan realisasinya tidak dapat hanya dibangun dengan pencitraan. Namun harus dipahami, politik itu tidak perlu kejujuran karena pada dasarnya politik itu startegi. Negara akan bersandar pada hukum negara untuk membuat rakyat patuh, agama akan digunakan sepanjang hal itu menguntungkan. Hal seperti ini dianut oleh semua kekuasaan dibelahan dunia manapun, namun hukum itu menjadi lemah ketika rakyat mengalami kesulitan ekonomi seperti peristiwa 1998.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H