Lihat ke Halaman Asli

Menelisik Pinjaman dari Cina

Diperbarui: 1 Mei 2018   02:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Reuters/Kim Kyung-Hoon)

Bukan hanya masyarakat yang terbelah pandangan politiknya, tak terkecuali media. Media partisan mudah ditengarai dari pemberitaan yang cenderung kearah mana. Salah mengambil sumber berita, bisa saja kita tersesat. 

Seperti halnya tentang pinjaman dari China, kalau kita tidak memahami hubungan perbankan internasional, mungkin saja bisa salah persepsi. Bukan hanya negara China saja yang bersedia memberikan pinjaman kepada Indonesia, juga jepang yang kecewa Indonesia beralih ke China.

Kalau kita hanya bersumber dari media, maka tergantung dari nara sumbernya yang umumnya dari pemerintahan  yang lebih cenderung mendukung pinjaman tersebut karena memang itulah tugasnya.

Berbeda kalau nara sumber berita itu berasal dari praktisi perbankan internasional, akan lebih cenderung melihat latar belakang pinjaman negara negara itu. Berbeda lagi kalau nara sumber itu berasal dari perbankan nasional, yang dia fahami adalah transaksi perbankanya. 

Ini cerita lama, namun strategi pemberian pinjaman itu tidak berubah, pemberi pinjaman mempunyai tujuan ganda yaitu memperoleh bunga dan menjual produk dan jasanya. 

Syarat dari pinjaman ini harus ada perbankan yang bertindak sebagai garantornya, dalam hal ini pinjaman dari China itu digaransi oleh perbankan pemerintah.  Pijaman ini tidak perlu persetujuan DPR, umumnya untuk membeli produk negeri peminjam seperti halnya kereta cepat dari China yang dibiayai dari pinjaman China.

Sumber pengembalian tersebut adalah dari tariff atas jasa memanfaatkan investasi itu, kalau terjadi macet, bank pemerintah sebagai garantor yang menalangi pembayaranya. Pada waktu terjadi krisis moneter 1998, bank yang menggaransi pinjaman semacam ini ambruk, kewajiban bank garantor di write off oleh pemerintah dan menjadi beban APBN.  Itulah sejarah dibentuknya BPPN yang menangani asset jaminan perbankan yang di write of oleh pemerintah.

Pinjaman itu sebetulnya menguak luka lama, barang dibeli dari negara peminjam banyak dililit kasus mark up harga, selisih harga itu tidak bisa masuk ke Indonesia karena Indonesia meratifikasi UU Money Londering, alhasil banyak dana berasal dari "permainan" mark up tersebut parkir di Luar Negeri.

Yang masuk ke Indonesia adalah barang yang dibeli dari pinjaman itu yang sudah dimark up harganya, tak perlu membayar pajak karena dengan fasilitas PMDN, pajak bisa diminta untuk ditunda. 

Saat ini kurs rupiah terus mengalami depresiasi, tentunya jika terus berlangsung, peminjam harus lebih banyak mencari rupiah yang berasal dari tariff, seperti tariff tol atau kereta cepat kalau pengadanya dari pinjaman semacam ini.

Berbeda dengan pinjaman IBRD  ( Worl Bank ), pengembaliannya berasal dari peningkatan pendapatan negara dari manfaat pembangunan dari pinjaman. Proyeksi peningkatan negara itu tertuang dalam APBN, mengingat negara kita menganut anggaran berimbang, proyeksi peningkatan pendapatan negara itu diikuti dengan peningkatan anggaran pembangunan.  Kalau target pendapatan negara tidak tercapai, sedangkan proyek harus dilaksanakan maka terjadi defisit APBN yang biasa ditutup dari berhutang lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline