Menjelang kejatuhannya, Presiden Suharto menyatakan tidak perlu khawatir oleh terjadinya depresiasi rupian sebab fondasi ekonomi Indonesia cukup kuat. Hal itu menanggapi pernyataan Gorge Soros yang memprediksi hancurnya mata uang negara negara Asean termasuk Indonesia.
Soros dikenal memiliki kemampuan tinggi dalam berspekulasi di bidang perdagangan mata uang. Pada tahun 1982, dalam waktu singkat Soros berhasil meraup keuntungan 1,2 milyar dolar dalam perdagangan mata uang Poundsterling. Akibatnya, sebagian perekonomian Inggris hancur.
Iapun dijuluki sebagai "Pria Yang Menghancurkan Pound" (The Man Who Broke the Pound). Pada pertengahan tahun 1997, perekonomian negara-negara Asia Tenggara, antara lain Indonesia, Thailand, dan Malaysia, tergoncang hebat karena secara tiba-tiba harga tukar dollar melonjak tinggi. Ribuan perusahaan bangkrut dan jutaan orang menjadi penganggur.
Meskipun banyak faktor yang menyebabkan krisis moneter ini, namun salah satu sebab utamanya adalah perilaku para spekulan valuta asing yang telah memborong dollar Amerika, lalu menjualnya dengan harga tinggi sehingga nilai mata uang negara-negara ASEAN itu terpuruk. Spekulan uang terbesar pada era krisis tersebut disematkan kepada George Soros.
Ekonomi negara-negara Asia sempat terpukul akibat krisis finansial yang terjadi pada 20 tahun silam yang membuat mata uang dan pasar saham jatuh. Salah satunya karena cadangan devisa yang tidak mampu menopang gejolak nilai tukar. Dibanding tahun 1998, cadangan devisa Indonesia kini hampir enam kali lipat atau mendekati 150 milyard USD, jumlah yang relatif aman untuk menjaga rupiah dengan intervensi pasar.
Bank Indonesia (BI) menegaskan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak mempengaruhi stabilitas sistem keuangan. Sejak akhir pekan lalu nilai dolar AS terus bergerak menuju level Rp 14.000.Dari data BI periode 1 April - 25 April 2018 pelemahan nilai tukar sejumlah negara terhadap dolar AS berada di atas 1%. Seperti bath Thailand (-1,14%, mtd), ringgit Malaysia (-1,23%, mtd), dolar Singapore (-1,24%, mtd), Korea Selatan KRW (-1,58%, mtd), dan India INR (-2,57%, mtd).
Nilai rupiah yang pernah terdepresiasi paling parah diantara negara negara Asean jika memang prosentasenya paling kecil, namun kalau dilihat dari rasio nilai tukar mata uang masing masing negara, sebenarnya tidak bisa digunakan sebagai indikator bahwa Indonesia lebih baik dibanding negara2 tersebut.
Sebagai contoh kurs TB 31,63/USD 1 dibanding Indonesia Rp.14.000/USD 1, kecenderungan dalam gejolak moneter global seperti saat ini TB akan lebih besar prosentasenya dibanding rupiah.
Namun untuk kepentingan politik untuk meredam kekhawatiran ditengah masyarakat perbandingan seperti sebagai indikator kondisi Indonesia lebih baik hal itu sah sah saja. Sebab dalam pandangan politik adalah strategi bagaimana menjaga stabilitas walaupun "tidak jujur". Seperti halnya apa yang disampaikan oleh Suharto bahwa fondasi ekonomi indonesia cukup kuat yang pada kenyataanya ambruk yang menyulut kerusuhan.
Yang menjadi pertanyaan, seberapa kuat cadangan devisa Indonesia untuk menahan gejolak rupiah sebab kebutuhan valas untuk pembayaran utang luar negeri Indonesia tidaklah kecil, ditambah lagi terjadi defisit perdagangan?
Sederhanaya, nilai tukar rupiah akan dipengaruhi oleh aliran devisa, kalau devisa keluar lebih besar akan menjadi faktor pelemahan rupiah. Import beras, import daging atau garam tentunya membutuhkan devisa, padahal indonesia adalah negara agraris. Sebaliknya para TKI yang bekerja di luar negeri adalah penghasil devisa semakin banyak TKI yang bekerja diluar negeri semakin banyak devisa masuk.