Mungkin menjadi sebuah pertanyaan mengapa rupiah terus mengalami depresiasi, apakah disebabkan oleh faktor global atau oleh karena faktor internal? Logikanya, depresiasi rupiah karena menguatnya mata uang US $ sebagai patokan internasional. Amerika Serikat telah menabuh perang dagang terhadap China, kemudian mengancam Jepang. Perang dagang tersebut ditengarai oleh para analist keuangan sebagai salah satu penyebab terpuruknya nilai rupiah.
Kalau kita lihat kenaikan hutang luar negeri Indonesia dipandang sebagai faktor penguat rupiah karena terjadi aliran devisa masuk, namun karena adanya hutang luar negeri yang jatuh tempo dan terjadinya defisit perdagangan menjadi faktor yang melemahkan rupiah. Dalam kurun waktu masa pemerintahan Jokowi terjadi depresiasi rupiah lebih dari 2000 pint. Tinggal dihitung, berapa besar penggelembungan utang luar negeri oleh karena depresiasi nilai rupiah.
Hutang luar negeri umumnya dalam jangka menengah dan panjang, rata-rata grace period antara 3 sampai 5 tahun sehingga utang pokok plus bunga akan terjadi pembayaran 3 samapi 5 tahun mendatang yang menjadi faktor pelemahan rupiah.
Kita lihat sektor perdagangan, Indonesia masih menjadi pasar produk bertehnologi, mulai dari kendaraan sampai elektronik hampir tidak dikenal 100 % konten lokal menjadi salah satu penggerus devisa. Sebaliknya sektor agribisnis yang tidak memiliki konten import kecuali barang modalnya masih berkutat pada masalah agraria dan permainan tengkulak dalam mata rantai perdagangan.
Perang dagang antara China dan Amerika Serikat, mestinya produk eksport Indonesia akan lebih laku karena menjadi lebih murah, namun para pedagang sejak terjadinya fluktuasi rupiah menerapkan strategi konversi namun sayangnya harga terus menurun pada sektor produsen terutama sektor perkebunan disamping masalah agraria karena tanah sudah menjadi komoditas spekulasi dagang.
Pada krisis moneter 1998, sektor agribisnis ini paling diuntungkan karena tidak ada konten importnya, namun sepanjang terjadi penguatan rupiah, pendapatan sektor ini terus menurun, namun ketika rupiah terdepresiasi kembali, komoditas sektor ini tidak secara otomatis membaik harganya karena mata rantai perdagangan bermain pada selisih kurs untuk menambah margin.
Pembangunan infrastruktur ekonomi memang nyata, dibalik itu masih terdapat masalah dalam mata rantai perdagangan seperti hal pada perdagangan beras. Walaupun pembangunan infrastruktur dapat mengurangi biaya distribusi, kenaikan harga tak terhindar oleh adanya depresiasi rupiah dan centang perentang mata rantai perdagangan sehingga menggerus peningkatan pendapatan masyarakat.
Kita sering bicara data valid sebagai dasar sebuah analisa, namun juga kita sering dihadapkan pada situasi kebingungan karena seringnya terjadi kenaikan harga seperti parameter tingkat kemiskinan. Demikian juga dengan tingkat inflasi kebutuhan pokok, bukan dengan operasi pasar tapi dengan himbauan agar mengganti pangan misalnya daging sapi ke bekicot, atau jangan mengkomsumsi beras yang dinyatakan oleh pejabat negara.
Dalam artian, yang diciptakan adalah stabilitas untuk mendukung pembangunan sehingga kita sering dihadapkan pada himbauan yang boleh disebut "nyleneh". Sehingga apa yang kita dengar adalah untuk menenangkan rakyat, jangan ada kritik yang memancing instabilitas sebab dalam alam demokrasi seperti saat ini tindakan represive harus dihindarkan.
Lumrah saja pemerintahan mengambil polecy seperti diatas sebab masalah ekonomi bisa saja menjadi alat politik yang dapat menimbulkan kegaduhan sehingga seperti berbondong parpol menjadi partai pemerintah. Sayangnya, ketika terjadi kerukunan antar parpol yang terjadi adalah penyalah gunaan kewenangan.
Kembali kepada rakyat, rakyat pada dasarnya berharap pemimpin dapat mensejahterkan dan membuat suasana tenteram dan menyenangkan. Sepanjang ini pemerintah mampu memberikan harapan seperti halnya penambahan hari libur bersama. Ada yang mengeluh, ada yang senang, seperti itulah kira-kira keadaan yang kita temui.