Seperti dilansir media beberapa waktu lalu, Wakil Ketua DPR Fahri Hamsah menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berubah menjadi lembaga serupa partai politik ketimbang menjadi lembaga penegak hukum. Hal itu dikatakannya saat ia merespon perintah putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kepada KPK untuk mengusut kasus Bank Century. Selain itu, Fahri menuduh KPK berpolitik dalam penanganan perkara kepada para pihak yang sedang tersandung maupun yang sedang dibidik.
Fahri Hamzah, sebutlah dia biicara dalam kapasitasnya sebagai ketua DPR RI yang merupakan lembaga pengawas pemerintahan, tentunya pernyataanya merupakan kritik dalam rangka untuk mengingatkan agar KPK tidak melenceng dari tugas dan kewenangan. Namun, karena Fahri Hamzah juga berasal dari Parpol, maka pernyataanya dimaknai dianggap sebagai pernyataan politik yang langsung disanggah.
Polemik semacam ini sudah sering mencuat di media pemberitaan sehingga terkesan DPR merupakan kumpulan menyerupai Parpol juga sebagaimana disebut Fahri Hamzah mengenai KPK yang memang memeiliki kewenangan yang tidak dapat diintervensi oleh siapapun.
Berbeda dengan Setya Novanto, mantan ketua DPR ini sejak awal kedudukannya diwarnai dengan isu korupsi yang dilakukannya dan faktanya saat ini menjadi pesakitan KPK. Dengan posisi demikian, Setya Novanto tidak menjadi tokoh yang berani vokal karena memiliki handicap sebagaimana Fahri Hamzah.
Belum hilang dari ingatan ucapan dua tokoh ini yang viral beberapa waktu silam, "gantung di Monas" ucapan Anas Urbaningrum untuk mengesakan dirinya tak korupsi dan "potong jari tangan" ucapan Akil Mochtar yang keduanya secara hukum sudah ditetapkan bersalah karena korupsi. Yang menjadi pertanyaan, "kevokalan" Fahri Hamzah karena dirinya bersih? Sepanjang ini hanya Fahri dan Tuhan yang tau.
Fahri Hamzah memang sering diisukan juga menerima suap yang langsung dibantahnya. Namun bisa saja, seseorang tak bersalah harus mendekam dalam bui seperti halnya yang dialami oleh Karta dan Sengkon yang fenomenal yang melahirkan upaya hukum Peninjauan Kembali.
Berbicara tentang penerapan hukum, penegak hukum boleh menafsirkan undang undang, ketidak tepatan penafsiran ini beerapa kali menjadi upaya judicial review di Mahkamah konstitusi.
Demikian pula yang saya hadapi, pertanyaan mengapa penyidik menolak anggaran dasar perseroan yang disahkan oleh Menteri Hukum dan Ham? Tidak diterimanya anggaran dasar perseroan tersebut memungkin seseorang dapat menguasai perseroan milik orang lain bekerjasama dengan penyidik kepolisian sebab, tanpa anggaran dasar perseroan penyidik dapat menafsirkan peralihan perseroan seperti jual beli putus sesuatu barang yang tidak diperlukan syarat sebagaimana undang2 perseroan.
Pertanyaan saya akhirnya terjawab, Mahkamah Agung mengakui terjadi kekosongan hukum untuk penanganan perkara korporasi sehingga dikeluarkan Perma no 13 tahun 2016. Namun sayangnya, beberapa pengusaha pengembang sudah terlanjur babak belur karena penyidik langsung membidik pribadi direkturnya pada antara Perseroan dan pribadi adalah subjek hukum yang berbeda.
Kembali pada kedudukan Fahri Hamzah sebagai wakil ketua DPR RI, DPR adalah lembaga yang mengesahkan undang-undang yang dalam implementasinya terjadi multi tafsir, demikian juga dengan undang2 KPK, beberapa waktu lalu ada wacana merevisi UU KPK, namun reaksi publik telah mengurungkan rencana DPR untuk merevisi UU KPK.
Sehingga, boleh dikatakan, semua pihak memiliki tafsiran masing-masing yang diungkap di media yang akhirnya menjadi polemik. Inilah buah dari kebebasan berpendapat, semua merasa boleh menafsirkan yang akhirnya hanya menjadikan kegaduhan. Namun, jika undang2 itu menguntungkan kelompok dan golongan seperti halnya menyangkut kewenangan DPR untuk mengesahkan anggaran yang memungkinkan peluang untuk korupsi seperti halnya kasus mega korupsi E-KTP, suara Fahri Hamzah mungkin akan berbeda lagi.