Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan praperadilan terkait dugaan penghentian kasus korupsi dana talangan Bank Century. Gugatan itu diajukan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI).
Dalam putusannya, hakim Effendy Muchtar memerintahkan KPK untuk melanjutkan kasus korupsi Century. Termasuk untuk menetapkan orang-orang yang diduga terlibat dalam dugaan korupsi ini, berdasarkan vonis Budi Mulya, menjadi tersangka.
"Memerintahkan termohon untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dan kawan-kawan," kata Effendy saat membacakan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Jika KPK tidak menetapkan beberapa orang yang disebut sebagai tersangka, kasus itu diperintahkan hakim dilimpahkan ke Kejaksaan atau Kepolisian untuk dilanjutkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Meski memerintahkan KPK untuk menetapkan Boediono dan beberapa orang lain yang disebut menjadi tersangka, hakim Effendy tidak memberikan batas waktu pasti dalam putusannya.
Mungkin baru pertama terjadi seperti itu, seorang hakim praperadilan memutus memerintahkan mentersangkakan seseorang. Putusan hakim tunggal itu jelas di luar obyek praperadilan. Sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, wewenang hakim praperadilan memutus antara lain soal keabsahan penangkapan, penahanan, dan penghentian penyidikan atau penuntutan. Belakangan, Mahkamah Konstitusi menambahkan soal keabsahan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan.
Boediono dan kawan-kawan memang disebut dalam dakwaan kasus Budi Mulya. Tapi, sekalipun putusan Budi sudah berkekuatan hukum tetap, mereka tidaklah otomatis menjadi tersangka. Harus ada proses penyelidikan dan penyidikan lebih dulu terhadap Boediono dan kawan-kawan. Proses penegakan hukum yang menjadi wilayah KPK, kepolisian, atau kejaksaan ini semestinya tidak bisa didikte hakim.
Adalah pengambil kebijakan moneter pada waktu itu berkesimpulan ambruknya bank century dinilai berdampak systemik dari kondisi ekonomi di Amerika Serikat, namun dalam pelaksanaanya terjadi kasus korupsi. Kasus korupsi terjadi pada pelaksanaanya. Para politisi di senayan memandang dampak systemik tidak dapat diterima sebagai landasan pengambilan keputusan.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa kasus Century diangkat lagi bersamaan dengan gencarnya OTT KPK melalui keputusan pra peradilan yang dinilai banyak pihak sebagai putusan yang kotroversil. Apalagi putusan itu tanpa ada tenggat waktu untuk dilaksanakan yang dapat dimaknai sebagai putusan untuk menarik perhatian publik.
Jika mengacu pada krisis moneter yang terjadi menjelang runtuhnya orde baru, semua sepakat akibat adanya krisis global dan pemegang kebijakan tidak perlu dimintai pertanggungan jawab.
Sebaliknya, politisi senayan menolak argumentasi berdampak systemik dalam alasan bailout bank century dan dalam rapat paripuna DPR memilih opsi C yang menyatakan Bailout Bank Century menyimpang yang merekomendasikan seluruh penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang yang berindikasi perbuatan melawan hukum yang merupakan tindak pidana korupsi, tindak pidana perbankan dan tindak pidana umum berikut pihak-pihak yang di duga bertanggung jawab agar diserahkan kepada Lembaga Penegak Hukum.
Yang ditarget tak lain adalah Boediono, wapres non partisan yang ditunjuk oleh SBY yang tentu saja mengecewakan parpol koalisi yang berambisi mencalonkan ketumnya mendampingi SBY. Dalam periode pemerintahan SBY, energi banyak tercurah pada Bailout Bank Century yang memaksa Sri Mulyani memilih hengkang menjadi petinggi World Bank. Gesek gesek bailout bank Century apakah akan menyasar kepada Sri Mulyani yang kini menduduki kursi Menkeu dalam pemerintahan Jokowi?