Fahri Hamzah dikenal sebagai politisi yang paling vokal mengkritisi KPK termasuk mengkritisi OTT yang banyak ditujukan kepada kontestan pilkada dan kepala daerah. Sikap Fahri Hamzah menjadi sebuah gambaran terjadi silang pendapat dalam menafsirkan undang undang yang diundangkan oleh DPR itu sendiri, apalagi kiprah KPK juga banyak menyasar anggota legislatif.
Yang paling anyar terjadinya OTT terhadap Walikota Kendari dan ayahnya yang juga mantan walikota kendari yang saat ini menjadi cagub Sultra setelah sebelumnya KPK menangkap Bupati Lampung tengah yang juga Cagub Lampung.
Menjadi kontestan kedudukan politik memang memerlukan biaya yang besar, agaknya Fahri Hamsah dalam hal ini berharap pengumpulan dana itu dimaklumi. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah penyandang dana adalah mereka yang memiliki motivasi sosial, tentunya tidak. Motivasi inilah yang bisa jadi menjadi alasan KPK untuk melakukan OTT.
Buah dari reformasi politik setelah dua orde sebelumnya memberlakukan pemerintahan otoriter dan sentralisasi kekuasaan, korupsi dan penyalah gunaan wewenang menyebar terjadi di pemerintahan daerah. Beberapa kepala daerah menjadi pesakitan KPK seperti halnya Gubernur Sultra non aktiv yang saat ini masih menjalani sidang tipikor.
Sejalan dengan gencarnya OTT KPK yang menyasar kepala daerah dan kontestan Pilkada, Kemendagri melakukan kesepakatan dengan Kejagung, Polri dan Aparat Pengawas Intern Pemerintah ( APIP ) terkait penghentian perkara korupsi pejabat daerah yang mengembalikan uang korupsinya. Kesepakatan tersebut menuai kritik berbagai pihak yang dinilai melahirkan semangat korupsi dan bentuk toleransi pada tindakan korupsi.
Apalagi system anggaran yang sudah bukan rahasia lagi, dengan asumsi asumsi yang diterapkan terjadi penggelembungan nilai anggaran menjadi celah terjadinya suap. Sebab, nilai anggaran sudah dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki keuntungan yang tidak wajar namun disetujui oleh Wakil Rakyat. Tak heran jika banyak wakil rakyat terseret dalam kasus korupsi seperti kasus mega korupsi E KTP.
Korupsi dulu, kalau ketahuan dikembalikan dan tidak dipidana tentunya tidak sejalan dengan persidangan mega korupsi E KTP yang saat ini sedang berlangsung.
Namun demikian dalam kajian KPK, banyaknya tidak pidana korupsi antara lain disebabkan besarnya biaya politik dan anggaran yang disediakan terlalu kecil. Demokrasi memang membutuhkan biaya politik yang mahal, selepas dari krisis moneter yang mengambrukan perekonomian Indonesia 1998, Indonesia memasuki era reformasi. Ibarat buah simalakama, pemerintah belum mampu menyediakan anggaran yang cukup namun demokrasi harus dikedepankan yang membutuhkan biaya tinggi.
Mungkin kondisi yang demikian yang menjadi latar belakang kesepakatan antara Kemendagri dan intitusi penegak hukum, menjadi politikus sulit untuk tidak korupsi karena alasan anggaran yang tidak memadai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H