Definisi pecucian uang atau money loundering menurut wikipedia adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal. Hal ini diatur secara yuridis dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat, yakni dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20 tahun, dengan denda paling banyak 10 miliar rupiah.
Seperti diberitakan, Mabes Polri menggandeng PPATK dalam dugaan pecucian uang yang menyerempet nama Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI Bachtiar Nasir yang akhirnya memenuhi panggilan penyidik Direktorat Tindak Pidama Khusus (Tipideksus) Bareskrim Polri, Jumat (10/2). Nasir yang datang bersama pengacaranya Kapitra Ampera diperiksa sebagai saksi dalam dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terkait Yayasan Keadilan Untuk Semua.
Nasir mengatakan, awal mula penggunaan rekening yayasan tersebut untuk menampung sumbangan umat yang tergerak dengan aksi Bela Islam II dan III. "Namanya kita mau ada aksi, kemudian umat tahu, Anda tahu kan orang Indonesia yang bersedekah lillahita'ala. Pokoknya kepentingan mereka ke akhirat saja dan ini Bela Islam nah jadi frame-nya itu," kata dia.
Jika melihat definisi pencucian uang tersebut diatas, seharusnya ada tindak pidana menyangkut asal usul uang tersebut seperti halnya dari tindakan korupsi sebagai perkara pokok yang sudah ada tersangkanya. Kewenangan penyelidikan menyangkut TPPU memang ada ditangan Polri tanpa harus ada yang melapor, diduga penyelidikan tersebut tujuannya untuk mengungkap penyandang dana aksi bela Islam tersebut.
Sigap dan cepatnya penanganan kasus diatas agaknya berbeda dengan penanganan dugaan kejahatan perbankan yang saya temui bahkan terkesan ditutup-tupi dan dilindungi. Ketika saya membuat kesepakatan dengan seorang notaris rekanan sebuah bank, walaupun sudah secara tertulis notaris tidak menyerahkan kepada pihak lain, penyidik hingga saat ini sudah lebih dari setahun tidak pula mengeluarkan laporan perkembangan perkara atas laporan dugaan penggelapan dokumen perseroan milik saya dengan tujuan menguasai asset perseroan.
Mau tidak mau saya mengambil langkah mengusut dengan cara menggugat perdata sebuah bank yang saya tengarai sebagai pelakunya. Bobolah pertahanan bank tersebut yang selama ini bertameng kerahasiaan perbankan, mau tidak mau bank itu membuka rahasia itu dipersidangan. Putusan pengadilan dalam pertimbangannya menyebutkan argumentasi bank dengan menggunakan akta yang saya laporkan digelapkan di kepolisian itu.
Parahnya lagi, asset perseroan berupa tanah digunakan sebagai jaminan atas nama pribadi pihak lain tanpa APHT dan ditemukan lagi bukti yang mencengangkan, anggaran dasar perseroan isinya diganti menjadi 100 % milik orang lain, padahal 75 % saham sesuai SK Menteri Hukum dan Ham milik saya.
Akta anggaran dasar yang diduga palsu itu diketahui juga digunakan di BPN untuk memindahkan hak sebanyak 4o persil dari 120 persil dalam sisa tanah induk sertifikat. Lebih parah lagi, induk sertifikat terblokir karena keberatan saya, namun pecahanya bisa diikat APHT.
Ketika masalah berhasil itu saya ungkap, BPN menyediakan diri menjadi mediator agar saya berdamai, Tanah itu awalnya milik pribadi, kemudian karena peraturan mengharuskan tanah diturunkan statusnya menjadi HGB karena tanah harus atas nama badan usaha sebagaimana persyaratan perizinan, Kalau yang dipalsukan adalah anggaran dasar perseroan yang merupakan pemilik tanah dipalsukan digunakan untuk melakukan peralihan hak tanah, mestinya menjadi tanggung jawab BPN. Info dari lapangan, beberapa persil diduga dikuasai oleh oknum penyidik dengan alasan menyewa.
Dari cerita diatas, betapa sulitnya menembus sebuah permainan hukum yang melibatkan banyak pihak yang berlindung pada institusi walaupun yang dirugikan adalah masyarakat banyak.