Tahun lalu, tiga bank pelat merah memperoleh pinjaman senilai total US$3 miliar atau sekitar Rp43,5 triliun (kurs Rp14.500 per dolar AS) dari China Development Bank (CDB). Ketiga bank yang memperoleh pinjaman tersebut yakni PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tbk, dan PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk dengan tenor 10 tahun, bunga LIBOR + 2,85 % dan SHIBOR + 3,30. Pinjaman seperti ini adalah biasa terjadi dalam bisnis perbankan, yang menjadi pertanyaan, pinjaman tersebut disalurkan untuk siapa dan untuk apa.
Dalam pinjaman perbankan internasional, perbankan luar negeri mestinya meminta garansi pemerintah adalah hal yang merupakan jaminan pinjaman yang umum berlaku. Apabila bank pemerintah tidak mampu memngembalikan pinjaman tersebut maka pemerintah mengambil alih tanggung jawab. Pinjaman seperti ini pernah diadakan oleh negara-negara barat pada era orde baru, ketika terjadi krisis moneter, resiko diambil alih pemerintah dan jaminan pinjaman semacam ini selanjutnya ditangani oleh BPPN.
Dalam prakteknya, pinjaman seperti itu diperuntukan untuk pengadaan pembelian barang modal hasil industri negara kreditur sehingga, boleh disebut bank pemerintah tersebut tidak menerima uang tunai untuk memperkuat permodalan melainkan sudah ditetapkan diberikan kepada korporasi yang mengadakan barang modal dari negeri pemberi pinjaman.
Pinjaman demikian rawan korupsi dengan cara mark-up harga barang, sulit terdeteksi karena terbentur kerahasiaan perbankan. Salah satu yang mencuat kepermukaan adalah kasus Edi Tanzil yang sampai kini tak tertangkap. Praktik semacam inilah yang merobohkan perbankan pemerintah yang menjadi garantor seperti ketiga perbankan pelat merah diatas.
Membangun infrastruktur publik dengan pinjaman luar negeri merupakan proyek biaya sangat mahal sebab akan dibebani bunga dan terlebih masih terjadi praktik korupsi menjadikan proyek2 tersebut menjadi beban rakyat. Belum lagi penurunan nilai rupiah, setiap point penurunan nilai rupiah artinya menggelembungkan hutang luar negeri.
Pembangunan yang didanai pinjaman luar negeri dewasa ini menjadi jargon politik sehingga resiko dari pendekatan pembangunan semacam ini akan menjadi malapetaka ekonomi kalau peningkatan pendapatan masyarakat tak sebanding dengan beban masyarakat yang akan mempengaruhi pendapatan sektor pajak.
Seperti yang disampaikan Menkeu Sri Mulyani, pendapatan sektor pajak tahun 2016 sulit tercapai, lebih rendah 219 triliun rupiah dari asumsi dalam APBN sebesar 1.538,2 yang antara lain disebabkan masih lambatnya pertumbuhan ekonomi. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah adanya pembangunan infrastruktur.
Jalan yang ditempuh untuk mengatasi defisit tersebut adalah dengan memangkas anggaran atau berhutang, itulah prinsip anggaran berimbang yang dianut negara kita, Seperti diberitakan paruh tahun ini, untuk menutup defisit anggaran, pemerintah menambah hutang Rp. 365,7 Triliun.
Pinjaman pemerintah berbeda dengan pinjaman perbankan diatas, namun seluruh pinjaman baik swasta maupun pemerintah keduanya digaransi oleh pemerintah. Ada anggapan bahwa privatisasi proyek publik tidak beresiko untuk pemerintah, hal itu harus dilihat dari coleteral pinjaman luar negeri yang berupa proyek berada diwilayah jurisdiksi Indonesia maka colleteral tersebut dipegang oleh perbankan pelat merah yang ditujuk sehingga resiko kredit macet ditanggung pemerintah.
Tidak banyak yang memahami seluk beluk perbankan internasional, dalam dunia medsos yang mengemuka adalah pembangunanya sedangkan resiko yang harus dihadapi rakyat dikemudian hari tertutupi.
Seharusnya semua pihak bisa bersikap realistis untuk melihat resiko dan manfaat dari pembangunan dengan cara berhutang, jika manfaat dari pembangunan tersebut tidak mampu menutup pinjaman maka yang terjadi adalah defisit anggaran dan seperti tahun 2016 ini, anggaran negara mengalami defisit yang ditutup dari berhutang.