Lihat ke Halaman Asli

Aksi 212 Terus Berlanjut dengan Sholat Subuh Berjamaah

Diperbarui: 13 Desember 2016   00:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gerakan salat subuh berjamaah digagas oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI. Aksi tersebut merupakan lanjutan Aksi Bela Islam pada 2 Desember. Salat berjamaah berpusat di Bandung dan dilakukan di beberapa kota lainnya. Bukan hanya di Bandung, masjid-masjid lainnya juga mengadakan gerakan shalat subuh berjamaah, diantaranya Masjid Sunda Kelapa (Jakarta Pusat), Masjid Al Hikmah (Kebayoran Lama-Jakarta Selatan), Mushala Baiturrahim (Kelapa Dua Wetan-Jakarta Timur), Masjid Agung Bangka (Bangka Belitung), Islamic Center (Bekasi), Masjid Balai Kota Depok (Depok), Masjid Agung Medan (Medan), Masjid Al Manar (Ponorogo), Masjid Muhammadiyah-Kepatihan Kulon (Surakarta), Masjid Al Muttaqin dan Masjid An-Nabawi Banjar Wijaya (Tangerang), dan Komplek Masjid Jogokariyan (Yogyakarta).

Setelah aksi superdamai 212, Umat Islam Indonesia seperti mendapatkan energi baru yang luar biasa dahsyat. Energi spiritual yang bersumber dari keyakinan hakiki, yaitu keyakinan terhadap Allah atau biasa dikenal dengan sebutan tauhid. Inilah yang mungkin lebih tepat disebut sebuah revolusi mental yang mndorong timbulnya solidaritas dan persatuan umat untuk memperkokoh NKRI.  Islam memang terpecah dalam banyak aliran yang  tak jarang menimbulkan friksi antar umat islam itu sendiri.

Dimulai dari  berkembangnya polemik surat Al Maida 51 yang dipicu  adanya statemen Ahok, polemik tersebut berkembang menjadi tuntutan hukum oleh aksi massa Islam dari berbagai daerah.  Namun dibalik itu semua, sesungguhnya Islam menjadi kekuatan sosial politik yang luar biasa.  Moment ini seharusnya menjadi sebuah pelajaran bagi elit politik Indonesia, bahwa ditengah masyarakat yang sifatnya konservativ, norma-norma sosial  dalam masyarakat tidak bisa diabaikan begitu saja.

Pemimpin yang berani dan tegas tidak perlu ditunjukkan dengan kata-kata yang menimbulkan ketersinggungan. Apalagi media dengan mudah memilintir kata hingga menimbulkan situasi yang tidak sehat.  Ahok tidak bermaksud menghinan, tidak bermaksud menista, tidak mungkin itu dilakukan.  Sayangnya umat muslim sudah bereaksi menuntut penegakan hukum atas apa yang diucapkan Ahok.

Situasi seperti ini tidak menguntungkan Ahok, namun polemik  antara pro dan kontra membawa pada situasi politik yang berkembang bukan lagi menyangkut pilkada DKI, lebih dari menimbulkan friksi yang menjurus pada perpecahan bangsa.  Dalam situasi demikian, sudah pasti tidak terhindarkan digunakan untuk kepentingan politik kompititer Ahok dalam perebutan kursi no 1 DKI dan juga oleh aktivis opoisisi pemerintahan.

Ditambah lagi dengan adanya penangkapan aktivis oleh Polri, persoalan makin berkembang, tidak selamanya hukum dapat menyelesaikan persoalan.  Para aktivis yang akhirnya dibebaskan pun bersuara diringi perdebatan media  antara kebenaraan sangkaan makar atau bukan. Ditambah lagi adanya penangkapan teroris "bom panci" diramaikan pula dengan pemberitaan pengamanan kepada beberapa orang yang kemudian dipastikan mereka adalah pedagang panci.

Berlindung dibalik peraturan adalah sah sah saja. Taat pada perturan dan hukum  sudah menjadi dalil yang tidak dapat dibantah. Yang menjadi pertanyaan, apakah hukum itu sudah dilaksanakan dengan benar ? Inilah inti persoalannya.  Kalau penegakan hukum sudah sempurna, tidak ada hamba hukum yang dicokok KPK.  Kalau ukuran bersihnya Ahok karena  bebas dari KPK, mestinya parameter bersihnya aparatur hukum juga bebas dari KPK. Namun demikian, tidak pula dapat digeneralisir  tidak ada aparatur hukum yang bersih.

Media  sosial dalam era pemilihan langsung memang digunakan untuk membangun opini tokoh politik. Diandingkan dengan mediia pemberitaan yang sifatnya komersial, media sosial adalah yang paling murah.  Namun, efek dari kebebasan berpendapat, media sosial dapat digunakan oleh publik untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Tak jarang keputusan pemerintah dipengaruhi oleh tekanan publik. Demikian juga dengan peradilan Ahok yang  dikhawatirkan terjadi hal sama, namun tidak dapat disangkal, aksi masa 212 merupakan tekanan publik.

Dalam hal politik pencitraan untuk mendongkrak popularitas bukan hanya monopoli Indonesia, jauh sebelumnya strategi semacam ini terjadi dalam politik Amerika Serikan. Dalam dekade silam, Ronald Reagan citanya melejit oleh keberhasilannya membebaskan sandera 52 orang pegawai  kedutaannya di Tehran. Namun dibalik itu, George Bush Sr, Direktur CIA  yang melakukan perundingan rasahasia  dihadiahi jabatan sebagai Wapres. Namun akhirnya terbongkar,  pembebasan tersebut dibarter dengan persenjataan melalui broker senjata Adnan Kashogi.  Penyeledikan kemudia mengindikasikan tindakan tersebut adalah pidana., kebohongan publik.  Letkol Oliver North yang menjadi pelaksanaan akhirnya diganjar hukuman penjara, namun ditengarai, Oliver North sengaja dikorbankan untuk menyelamatkan Presiden. 

Negara demokrasi sekelas Amerika Serikat dapat mengatur hukum untuk menyelamatkan tokoh politiknya, bukan tidak mungkin hal seperti ini terjadi pada persidangan Ahok.  Apalagi penegakan hkum di Indonesia masih centang perentang oleh adanya budaya suap dan korupsi yang menggurita.  Dugaan Ahok  kuat akan bebas karena situasi hukum yang berkembang selama ini,  tak heran FPI ngotot mengawal persidangan. Apalagi saat ini, Habib Rizieg sudah didaulat sebagai tokoh yang menentang kedzoliman, suaranya makin didengar  dan aksi 212 masih berlanjut dengan Sholat  subuh berjamaah dan diikuti oleh Cagub kompetitor Ahok. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline