Sejak awal penanganan dugaan pembunuhan Wayan Mirna, peran media dalam penggalangan opini sangat besar sehingga Jessica yang disangka sebagai pelakunya sudah mendapat vonis bersalah. Namun berjalannya waktu persidangan, opini yang sudah terbangun lambat laun berbalik menjadi ujian kredibilitas aparatur penegak hukum secara umum.
Paling tidak, dari persidangan yang dapat diikuti oleh jutaan pasang mata itu telah memberikan gambaran, terjadinya penyalah gunaan kewenangan itu terjadi karena menempatkan peran advokat sebagai partner dari kekuasaan. Ini terlihat dari perlakuan terhadap penasehat sebagaimana yang disampaikan dalam duplik terakhir yang disampaikan oleh penasehat hukum Jessica, Otto Hasibuan.
Hal semacam itu saya alami, pengacara yang saya tunjuk berulangkali terindikasi menyerah karena berhasil disuap atau menerima tekanan sehingga tak ada pilihan lain, saya melakukan "perlawanan" melalui surat tanpa menggunakan pengacara. Kebetulan saya bertemu dengan pengacara mantan wartawan yang masih muda dan memiliki komitmen tidak kompromi. Intimidasi atau bujukan agar tidak menangani perkara saya sering dia hadapi.
Dia lanjutkan upaya saya tersebut, surat jawaban dari bank tersebut digunakan sebagai dasar gugatan untuk menjebol tameng undang-undang kerahasian bank, dihadapan majelis hakim harus jujur dimana sang pengacara akan bertindak sebagai investigator. Ditambah lagi ada mantan karyawan bank yang membelot menjadi saksi saya. Akhirnya, apa yang selama ini disebut kerahasiaan perbankan menjadi terkuak menjadi kerasahasiaan para mafia bank.
Bisa dibayangkan kalau bank mencairkan pinjaman tanpa APHT, asset siapapun bisa menjadi jaminan bank itu tanpa sepengetahuan pemiliknya. Seperti yang saya alami, asset jaminan bank milik saya di bank BUMN berpindah ke bank BPR tanpa sepengetahuan saya. Karena hal itu saya menilai adalah pelanggaran perbankan, saya memberi teguran melalui surat, namun dibuat setting hukum, surat itu dipermasalahkan kop suratnya di kepolisian.
Jaringan permainan seperti itu melibatkan aparatur hukum dengan seeting seolah2 perseroan milik saya sudah saya jual dan menakan agar saya berdamai yang artinya saya ikut melegalkan tindakan bank tersebut. Dengan gugatan tersebut terungkap anggaran dasar perseroan milik saya dipalsukan menjadi milik orang lain. Tanpa APHT bank BPR mencairkan pinjaman untuk menebus jaminan milik saya di Bank BUMN.
Fakta dari persidangan tersebut adalah jawaban dari surat saya yang menjadi barang bukti kepolisian yang isinya tentang dugaan pelanggaran akta hak tanggungan. Bukan hanya pelanggaran akta hak tanggungan yang terungkap, bahkan diakui jaminan tidak bisa diikat pembebanan APHT. Bukan itu saja, walau tak dapat diikat APHT, BPN sudah melakukan peralihan hak tanah sebanyak 40 persil dari 120 persil dalam induk sertifikat. Praktik oknum BPN sekaligus terungkap, induknya diblokir tapi pecahanya dialihkan kepemilikan, luar biasa.
Namun langkah itu terganjal karena saya menerima penegasan dari kemenkumham tidak ada perubahan anggaran dasar yang artinya perseroan masih milik saya. Saya diundang BPN yang bertindak sebagai juru damai namun jawaban saya, perdamaian hanya melegalkan pratik bank semacam itu. Sebab, Induknya diblokir tetapi pecahannya menjadi jaminan KPR untuk penurunan plafond pinjaman merupakan startegi akal bulus.
Diatas adalah sebuah contoh bahwa praktik KKN sudah membudaya disegala lini termasuk dalam penegakan hukum. Setidak-tidaknya, parktik semacam itu tergambar dalam replik yang disampaikan oleh Otto Hasibuan. Segala cara ditempuh uantuk menggambarkan bahwa kekuasaan itu tidak bisa dilawan, menekan, mengintimidasi, meminta mundur merupakan cara halus adalah cara-cara yang biasa dialami oleh pengacara agar mengikuti kekuasaan hukum itu.
Dalam situasi penegakan hukum seperti itu, media menjadi wadah alternatif untuk melakukan kontrol namun sayangnya media juga karena faktor uang tak luput dari budaya semacam itu. Kita lihat saja dalam perjalanan kasus Jessica, media begitu gencar memberitakan hasil kerja kepolisian yang begitu cepat mengungkap dengan tersangka tunggal Jessica. Tak berbeda dengan apa yang dialami oleh Antasari Azhar, peran media mengawali perjalanan kasus Antasari yang harus mendekam dibalik jeruji cukup lama.
Bedanya, peradilan Jessica disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi karena media tidak bisa lagi dikendalikan oleh pihak tertentu karena persidangan tersebut sudah milik publik. Otto Hasibuan juga memanfaatkan media untuk melakukan pembelaan dan sebaliknya ayah Mirnapun melakukan hal yang sama untuk sebaliknya. Sehingga yang terjadi, mediapun digunakan juga untuk menyerang karakter yang mencerminkan sebuah keadaan yang sudah keluar dari substansi mengungkap kebenaran dan seolah persidangan tersebut hanya formalitas untuk memenjarakan Jessica.