Lihat ke Halaman Asli

Persidangan Jessica, Mencari Legitimasi Menghukum atau Mengungkap Kebenaran?

Diperbarui: 18 Oktober 2016   15:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terdakwa Jessica Kumala Wongso memasuki ruang sidang sebelum menjalani sidang saksi kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (12/7/2016). Jessica diduga menaruh zat sianida ke dalam kopi yang diminum Mirna di Cafe Olivier, Grand Indonesia, Januari 2016 lalu. (KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG)

Persidangan Jessica yang panjang dan disaksikan oleh jutaan pasang mata tak pelak lagi menjadi tekanan tersendiri bagi para majelis hakim yang tak lama lagi harus mengambil sebuah kesimpulan. Seperti kita ketahui bahwa tidak ada seorang pun saksi fakta yang membuktikan perbuatan Jessica menuang sianida dalam gelas kopi vietnam yang diminum Mirna Salihin yang menyebabkan kematiannya sehingga persidangan diwarnai perdebatan saksi ahli.

Perdebatan itu bukan saja dalam persidangan namun juga terjadi pada siaran media televisi yang menampilkan narasumber pro JPU maupun pro penasihat hukum yang bisa saja bermuatan kepentingan untuk memengaruhi opini publik. Sehingga terkesan, nasib Jessica ditentukan oleh opini yang dibangun oleh masing-masing pihak yang sudah jauh dari pengungkapan sebuah kebenaran.

Dalam sebuah persidangan, seorang anggota polisi memberikan kesaksian yang pada intinya membuka ketidakberesan komandannya sebagai saksi yang meringankan untuk sesama anggota polisi yang menurutnya menjadi korban kesewenangan. Seminggu kemudian, saksi ini tertangkap tangan menerima suap dan menjadi bahan berita media sehingga opini yang terbentuk bahwa polisi baik ini langsung hancur reputasinya dan bahkan terancam dipecat.

Pasal-pasal hukum lebih cenderung digunakan untuk menghukum daripada untuk menjaga tatanan kehidupan, terlebih jika mental uang sudah membudaya. Seperti halnya persidangan Jessica, media cenderung menjadi kejam, seseorang bisa saja hancur oleh media yang membangun opini. Seperti halnya dalam sebuah tayangan televisi, pengacara kondang seperti Hotma Paris yang mengkritisi JPU, di pihak lain mantan Kajati lebih cenderung memperkuat argumentasi JPU.

Jika nasib seseorang ditentukan oleh gengsi institusi, adalah wajar peradilan akan cenderung menghukum bukan mencari kebenaran. Hal semacam ini saya alami, ketika sebuah bank saya tegur karena saya yakin perbuatannya adalah pelanggaran perbankan yang berat. JPU membuat siasat menyelamatkan perbankan dengan setting hukum seolah-olah perseroan milik saya sudah saya jual sehingga tidak ada celah saya untuk menuntut dengan cara memperkarakan kop surat yang saya gunakan. 

Sebuah setting hukum dengan menyembunyikan anggaran dasar perseroan, walaupun sudah saya tunjukkan namun diabaikan. Untuk mengungkap ketidakberesan tersebut, berangkat dari kesaksian bank tersebut yang dicatat dalam putusan yang membidik penggunaan kop surat, saya lakukan gugatan perdata. Mungkin maksud hati membela diri, alhasil yang ditunjukkan anggaran dasar perseroan milik saya yang dipalsukan untuk memberikan kredit kepada pelaku dengan jaminan aset milik saya.

Setelah terungkap, dengan berbagai cara menekan agar saya berdamai dan membangun isu-isu yang sifatnya intimidasi merupakan sebuah gambaran betapa mudahnya para penegak hukum menyalahkangunakan kewenangan tanpa berpikir risiko yang dihadapi. Berdamai adalah untuk menutup risiko jabatan yang kabarnya membutuhkan biaya. Begitu pula dengan persidangan Jessica, tentunya akan ada konsekuensi jabatan jika ternyata hakim memutuskan bebas.

Sistem yang tidak dapat dilawan sehingga terjadi kecenderungan pengadilan memberikan legitimasi untuk menghukum jika seseorang sampai diadili. Tak mengherankan jarang terjadi hakim membebaskan terdakwa dan bahkan terjadi seperti yang dialami oleh Karta dan Sengkon yang dipenjara atas perbuatan yang tidak dilakukan.

Fakta persidangan Jessica yang penuh keraguan, JPU menyatakan apa yang dilakukan Jessica adalah perbuatan sadis namun menjadi janggal tuntutan jaksa adalah yang paling ringan. Agaknya ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Jessica dalam persidangan yang dibujuk penyidik untuk mengaku membunuh, paling-paling hanya menjalani kurang dari 7 tahun setelah dipotong remisi dan pembebasan bersyarat. Prediksi penyidik ternyata meleset, Jessica tidak mengakui perbuatannya dan tidak ada saksi fakta yang melihat perbuatan yang didakwakan, apakah Jessica akan tetap dihukum?

Layaknya sebuah cerita sinetron, namun Jessica keluar dari pakem cerita yang menjadi bahan perdebatan di media televisi antara pro penasihat hukum dan pro JPU yang mengesampingkan hak Jessica dalam azas hukum praduga tak bersalah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline