Sudah diprediksi banyak pihak sebelumnya, PDIP akan mengusung Ahok - Jarot dalam Pilkada DKI 2017. Tak ada pilihan lain yang harus diambil oleh PDIP untuk mengamankan kedudukan Jokowi, mau tidak mau harus mempertahankan posisi Ahok. Persaingan diantara elit politik sudah bergeser dan menjadikan DKI sebagai "trigger" untuk menggoyang kedudukan Jokowi yang didukung PDIP.
Seperti kita ketahui, Ahok menduduki kursi no 1 DKI karena Jokowi memenangi pilpres 2014 dan belakangan mencuat kepermukaan carut marut izin reklamasi pantai utara Jakarta yang diwarnai oleh suap anggota DPRD oleh pengembang yang menjadikan anggota DPRD DKI dan Direktur PT. APL menjadi pesakitan KPK oleh OTT. Walaupun KPK pernah menyatakan ada indikasi grand scenario yang mengorbankan kepentingan rakyat banyak, namun agaknya kiprah KPK sampai saat ini hanya sampai M.Sanusi dan Ariesman.
Rizal Ramli, Menko Kemaritiman yang tidak sejalan dengan Ahok harus menerima kenyataan harus lengser adalah sebuah gambaran bahwa proyek milik pengembang tersebut digaransi oleh pemerintah pusat dengan keputusan dibolehkannya WNA memiliki hunian di Indonesia. Keputusan itulah yang menjadi garansi pengembalian modal pengembang yang memungkinkan merambah pangsa pasar yang lebih luas lagi atau pangsa internasional.
Bagi pengusaha, membeli jabatan menjadi hal yang biasa, dicokoknya anggata DPR RI oleh KPK terkait dengan suap persetujuan proyek menjadi sebuah indikasi bahwa hubungan antara penguasaha dan pemangku jabatan semacam ini sudah membudaya dan sulit dihindarkan mengingat perjalanan meraih jabatan memerlukan modal. Bahkan, secara terang2an biaya yang dihabiskan untuk memperoleh kedudukan di Senayan diungkap sebagai sebuah kewajaran.
Bicara kejujuran dalam budaya politik semacam ini tentunya hanya menjadi slogan politik untuk menarik simpati menjadi orang baik, orang jujur dan tidak korupsi yang parameternya tidak berurusan dengan KPK. Ahok yang digambarkan sebagai pejabat yang tegas dan jujur adalah sebuah penilaian politik untuk menarik simpati pendukung dalam persaingan perebutan kedudukan no 1 DKI.
Saling memuji dan sebaliknya mencaci menjadi warna tersendiri dalam hingar bingar politik, apalagi DKI sudah dijadikan arena pertarungan para elit politik. Mudah terbaca, proyek reklamasi menjadi proyek "angker" yang tidak tersentuh oleh hukum karena menyangkut dana yang luar biasa besar. Oleh karenanya perlu pengamanan dari figur yang dapat "dipercaya" dan tidak jatuh ketangan pesaing politik.
Rakyat dijejali berbagai slogan politik dari para elit politik yang sesungguhnya muaranya sama, menggiring rakyat memberikan suaranya untuk syarat berkuasa namun nyatanya transaksi jabatan terus menerus terjadi. Parahnya lagi, negara kita sudah tergaransi oleh hutang luar negeri dan menjadi pangsa pasar negara pemberi hutang yang harus tunduk pada ketentuan perdagangan negara maju pemberi hutang. Menarik investor luar negeri menjadi bahasa politik namun faktanya buruh kita seperti asing dinegerinya sendiri oleh serbuan TKA.
Tak pelak lagi, cepat atau lambat kekuasaan kapitalis itu akan mengungkungi kekuasaan dan rakyat menjadi pangsa pasar yang mau tidak mau selalu berada dibawah pengaturan para pemilik modal. Para pemilik modal inilah yang akan menjadikan seseorang sebagai penguasa untuk mengamankan investasinya. Sebuah resiko dari liberalisasi yang membolehkan politik ditempuh dengan cara apapun termasuk kecurangan, seperti ungkapan yang sudah sering kita dengar, politik itu cair, penghianatan adalah hal yang lumrah saja, juga kepada rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H