Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Bangsa Kita Susah Diajak Maju?

Diperbarui: 15 Juli 2016   16:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suatu saat saya menangani sebuah pabrik mesin peninggalan zaman Belanda, saya pelajari katalog dari mesin-mesin serta peralatan tua yang masih dapat digunakan, kesimpulan saya mesin2 dan peralatan untuk membuat senjata. Pabrik yang dinasionalisasi oleh Bung Karno itu beralih untuk memproduksi boiler dan peralatan pengeboran minyak namun dinilai tidak efisien, bukan karena prospeknya tetapi lebih disebabkan oleh faktor alam Indonesia.

Indonesia berada pada wilayah iklim tropis yang kelembaban udaranya  tinggi yang menyebabkan   tingkat kegagalan dalam pengecoran logamnya tinggi sehingga dibutuhkan alat untuk mengatur kelembaban udara. Investasi yang besar dengan added value harus bersaing dengan produk negara sub tropis tentunya akan kalah bersaing. Akhirnya, pabrik itu lebih baik ditutup, lokasinya dibangun mall yang lebih bersifat komsumtif sebagai sarana pelemparan pasar produk luar. 

Negara kita adalah negara kelautan, selanjutnya saya menangani industri perkapalan, khususnya kapal ikan dari fibreglass sebagai substitusi kapal kayu. Namun perbankan menganggap usaha perikanan adalah usaha yang beresiko tinggi sehingga dibutuhkan jaminan tambahan yang nilainya cukup signifikan. Artinya, bank mengharuskan para nelayan menjadi orang kaya  terlebih dahulu. Dinegara maju, pemerinthan mendirikan badan asuransi kredit yang memberikan jaminan kepada perbankan bagi nelayan atau petani sehingga untuk mendapat akses permodalan tidak harus menjadi orang kaya terlebih dahulu.

Negara yang maju umumnya ditopang oleh industrinya, penguasaan tehnologi menjadi modal utama. Produk teknologi menjadi mahal yang menghasilkan pendapatan besar sekaligus memodernisasi pengolahan pertanian dan perikanan. Bangsa kita seperti mengalami set back ke zaman Mojopahit atau bahkan sebelumnya, lembu atau sapi adalah pilihan untuk membantu pengolahan pertanian masih banyak kita jumpai. Begitu juga, masih kita jumpai bagan ikan atau kapal kecil menggunakan layar.

Terjun dalam menangani berbagai Industri itu setelah saya "lepas" dari ikatan dengan lembaga Internasional yang memberikan akses kebanyak pihak dalam pemerinthan. Cerita lucu sering terjadi, ketika itu usia saya belum 30 tahun, namun untuk kegiatan sehari-hari saya menggunakan kendaraan pelat merah. Sering orang menyebutnya " Bapak Pejabat" dari pusat mendampingi "Ahli" dari luar negeri. Tugas saya memperkenalkan "Ahli" dari luar negeri dan sesekali memimpin rapat koordinasi dengan para pejabat daerah. Sebetulnya, pekerjaan tersebut tidak membutuhkan para bule itu, lantaran dikasih hutangan, negara pemberi hutangan mengirimkan tenaga kerjanya. 

Ketika para bule itu selesai kontrak, pekerjaan itu menjadi tanggung jawab saya, orang sering menyebutnya transfer of technologie yang sekaligus menghemat biaya "ahli" atau  kerennya biaya expert. Sebab, yang disebut expert lokal, billing rate hanya diharga 10 % dari expert dari USA yang tertinggi, atau kira-kira 25 % dari Warga Negara Bangladesh. Namun, sebaliknya jika WNI dikirim ke Bangladesh, WN Bangladesh dihargai 25 % dari WNI yang sebetulnya dipengaruhi oleh living cost dalam tugas. 

Ketika saya resign, habis ikatan, bule  belanda bilang tidak saya dapatkan tempat yang cocok. Terserah pikir saya, ada diskriminasi billing rate yang mengganjal untuk saya bertahan. Saya bisa memaklumi ucapannya, kebiasaan di Indonesia lebih menonjol KKN nya, kalau swasta lebih memilih hubungan kekerabatan untuk posisi strategis, kalau pemerintahan lebih parah lagi, koneksi dan sogok. Namun si belanda lupa, akses sumber permodalan sudah saya miliki, saya cari dulu usaha yang colapse untuk dibenahi dan berangkat dari situ terjun ke industri lainnya.

Belum genap umur 40 tahun sudah mandiri bukan dari hasil rintisan usaha kecil, namun memahami akses permodalan menjadi modal utamanya. Ketika saya berbicara didepan civitas akademika sebuah perguruan tinggi karena saya membangun perumahan berbatasan dengan areal kampus, saya jelaskan apa yang saya kerjakan adalah untuk mensupport fasilitas kampus sebab hampir 80 % pangsa pasarnya adalah para dosen yang tujuannya untuk dikontrakkan kepada para mahasiswa. 

Lucunya muncul pertanyaan, sekolah saya dimana? Saya nilai menjadi lucu karena para dosen tersebut jauh hari telah membebaskan tanah berbatasan dengan yang saya bangun namun tidak terbangun. Kendalanya adalah pada sikap masing2 individu, merasa menjadi pemilik dan berpendidikan tinggi semua, akhirnya tidak terbangun karena pintar semua.

 Inti persoalan, untuk bisa maju sesungguhnya landasannya adalah kepatuhan dan faktanya ketidak patuhan itu sudah begitu mengental dalam prilaku di sgala lini. Maka tidaklah mengherankan kalau dari mereka menanyakan pendidikan saya karena pada dasarnya orang "merasa" pandai akan jatuh gengsi untuk mendengarkan orang lain yang dinilai tidak lebih pandai. Demikian juga orang yang sedang berkuasa, akan jatuh gengsinya kalau dinilai bersalah maka, aturanpun ditafsirkan sesuai kepentinganya agar tidak disalahkan. 

Terlebih masih suburnya mental irlander yang dibentuk oleh pemerintahan kolonial, ketika seseorang mendapatkan jabatan maka wajib dihormati yang akhirnya  terjangkit post power syndrome karena penghormatan sudah beralih kepada pejabat yang baru. Padahal, apa yang ditanamkan oleh pemerintahan kolonial adalah sebuah methode penggunaan bangsa sendiri untuk meredam perlawanan pribumi.  Pemerintahan kolonial pada waktu itu menerapkan peraturan  pejabat pribumi harus menggunakan nama fam yang umumnya dari kalangan ningrat. Sekarang zaman sudah berubah, titel pendidikan yang disandang padahal untuk membuat bangsa ini maju bukanlah semata-mata pendidikan, namun kepatuhanlah yang utama.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline