Lihat ke Halaman Asli

Pejabat MA Minta Jangan Buka Aib ke Publik

Diperbarui: 15 Februari 2016   01:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 KPK menangkap pejabat Mahkamah Agung (MA) Andri Tristianto Sutrisna dengan barang bukti Rp 400 juta dan sebuah tas berisi uang. Jauh sebelumnya, pimpinan MA meminta pejabatnya untuk tidak membuka aib ke publik.

Sebagaimana dikutip dari website Badan Peradilan Agama www.badilag.net yang dikutip detikcom, Minggu (14/2/2016), Dirjen Badilag Abdul Manaf meminta seluruh aparatur peradilan agama harus selalu menjaga kekompakan. Jika ada persoalan, hendaknya diselesaikan secara baik-baik di lingkup internal, sehingga persoalan itu tidak sampai ke luar.

Dua alenia yang saya kutip ini sebetulnya tidak ada korelasinya namun alinea kedua dijadikan judul berita laman tersebut sebagaimana judul artikel ini. Persepsi yang muncul oleh berita ini menjadi berbeda, pejabat MA meminta penangkapan pejabat MA Jumat malam lalu jangan di ekspose ke publik.

Yang saya lihat dalam berita seperti adalah cara media menghindar dari tuduhan fitnah jika berita itu tidak ada dasarnya.  Berbeda dengan opini, opini adalah pendapat yang belum tentu terjadi atau diperkirakan terjadi. Berbeda dengan artikel di Kompasiana yang lebih mengedepankan opini. Yang akan saya bahas disini terkait dengan OTT yang dilakukan oleh KPK terhadap pejabat KPK.

Namun demikian, tertangkapnya pejabat MA ini merupakan aib institusi ini secara umum  dimata publik sehingga sinyalemen yang menyatakan berurusan dengan hukum membuat miskin itu mengandung kebenaran. Seperti diberitakan kasus ini menyangkut permintaan penundaan putusan dimana pengusaha yang disebut sebagai penyuap meminta penundaan penerbitan salinan putusan. Dengan penundaan putusan tersebut, penguasaha yang diputus lebih berat ini oleh MA masih memiliki perpanjangan waktu untuk menghirup udara bebas dengan membayar seperti jumlah yang disebut dalam pemberitaan sebesar Rp. 400 juta.

Jika saya mengamati permasalahan yang dihadapi pengusaha ini yang menurut pemberitaan menyangkut pengerjaan proyek pemerintah, menurut pandangan saya mengapa sang pengusaha sampai harus merogoh kocek cukup besar merupakan sebuah perjuangan karena merasa menjadi korban dari system peradilan yang mendasari dari bukti adminstratif semata.

Kita ambil contoh konkrit dari tertangkap tangannya dalam OTT KPK terhadap anggota DPR RI yang juga melibatkan penguasaha yang disebut memberi suap.

Jika hukum tidak tebang pilih maka semua penguasaha yang mengerjakan proyek pemerintah akan menjadi terpidana hal ini kita dapat lihat dari system penganggaran yang berlaku. Anggaran yang diajukan oleh pemerintah untuk disetujui oleh DPR yang selanjutnya diundangkan adalah perhitungan proyeksi dengan menggunakan  harga berlaku saat ini ditambah dengan asumsi kenaikan harga oleh inflasi, selisih kurs dan lainnya yang asumsi tersebut disebutkan dalam anggaran itu. 

Dalam perhitungan kontruksi misalnya, yang disebut harga saat ini berlaku adalah harga jual pekerjaan kontruksi sehingga didalamnya sudah termasuk jasa pemborong. Ditambah dengan perhitungan adanya inflasi, selisih kurs dan contingencies lainnya, untuk satu tahun kedepan perhitungan anggaran akan lebih tinggi dsri harga saat ini. Sehingga dalam anggaran untuk tahun fiskal yang berikutnya akan lebih tinggi sekitar 30 % sampai 50 % tergantung asumsi-asumsi yang disebutkan.

Angka-angka yang sudah diperhitungkan tersebut selanjutnya diundangkan oleh DPR untuk APBN atau diperdakan untuk APBD untuk dilaksanakan oleh eksekutif. Dengan system penganggaran yang demikian,  misalkan anggaran itu sebesar Rp 1.500 juta, diperkirakan antara Rp. 300 juta sampai dengan Rp 500 juta adalah potensi untuk dikorupsi. Potensi korupsi yang sudah diketahui dan diperhitungkan inilah yang diperebutkan antara legislatif yang mewakili parpol dan eksekutif sehingga memungkinkan anggota DPR "berdagang" proyek kepada pengusaha seperti yang dilakukan oleh anggota DPR RI yang belum lama dicokok KPK.

Masyarakat mengenalnya sebagi suap yang sesungguhnya pengusaha setor dimuka untuk mendapatkan proyek dimana dalam pelaksanaanya secara administratif pencairan anggaran tersebut dilakukan oleh pengusaha yang sudah diatur memenangkan tender. Hukum hanya melihat pada bukti administrasi dan tidak melihat pada system yang memungkinkan memberikan peluang korupsi sehingga sering terdengar statemen politikus yang menyatakan KPK melakukan tindakan hukum tebang pilih atau bermuatan politik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline