Lihat ke Halaman Asli

Dipo Alam Vs Metro TV, Pemenangnya Pengacara

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekretaris Kabinet (Seskab), Dipo Alam, akan melaporkan balik pihak Metro TV dan Media Indonesia yang tergabung dalam Media Group ke Dewan Pers pada Senin. Pihak kuasa hukum Dipo Alam menilai Media Group telah menyalahgunakan fungsi sebagai lembaga pers untuk kepentingan pribadi. Dalam laporan tersebut, pihak kuasa hukum Dipo Alam akan melaporkan tentang penyalahgunaan fungsi pers serta berita yang tidak berimbang yang terdapat dalam dua media tersebut, khususnya Metro TV. Hal itu, tegasnya, berpotensi dapat melanggar kode etik jurnalistik terhadap media yang bersangkutan. Ia menyontohkan, dalam running text pada Metro TV disebutkan jika Amir Syamsuddin (kuasa hukum Dipo Alam) telah menjawab somasi, lalu masih dalam kalimat yang sama, langsung dilanjutkan dengan komentar OC Kaligis (kuasa hukum Media Group) yang menyatakan jika hal tersebut bukanlah jawaban. Menurutnya, running text itu telah didistorsi. Ia mempertanyakan kenapa komentar OC Kaligis tidak dibuat dalam kalimat yang berbeda pada running text itu. Selain itu, ia juga menganggap kasus isu boikot media itu telah diblow up sedemikian rupa hingga media nasional menjadikan Dipo Alam sebagai musuh nomor satu di negeri ini. Maka itu, pihaknya akan merumuskan pengaduan ke Dewan Pers terkait frekuensi penyiaran yang disalahgunakan. Ia pun berencana akan melakukan tindakan hukum terkait somasi yang dilayangkan pihak kuasa hukum Media Group beberapa waktu lalu.

Perseteruan dua kubu tersebut siapa yang akan memenanginya ?. Yang pasti pemenangnya adalah pengacara yang mendapat job, maju tak gentar untuk siapa yang membayar. Namun siapa korbannya ?. Yang korban adalah rakyat yang tergiring opininya, penggiringan opini dapat menyebab situasi kondusif atau sebaliknya. Mungkin inilah yang tidak terpikirkan oleh pemberitaan dimana situasi negara menjadi tanggung jawab negara. Demo2 polemik sekitar perebutan ketua PSSI misalnya, masayarakat pecinta sepakbola yang turun kejalan itu adalah gambaran betapa mudahnya masyarakat tergerak akibat pemberitaan.  Gerakan2 seperti itu merupakan gerakan massa yang sama sekali kontra produktive yang justru sangat merugikan masayarakat itu sendiri. Belum lagi gerakan massa terkait pilkada yang jika digilir setiap daerah maka setiap hari diperkirakan akan terjadi gerakan massa yang tidak produktive.  Tentu saja gerakan massa yang seperti itu menjadikan citra negara yang tidak kondusive. Disatu sisi masyarakat membutuhkan lapangan kerja, disisi lain media dinilai dapat menakuti investor. Logikanya memang demikian, teapi kembali media yang tidak  perlu memikirkan akibat dari pengaruh pemberitaan.

Sebuah pertarungan dua kubu yang masing2 mempunyai kepentingan, apa yang dilakukan oleh Dipo Alam yang matan aktivis tentu lebih menguntungkan rakyat bagi kemajuannya. Sebaliknya, apa yang dilakukan oleh Metro TV juga menguntungkan rakyat untuk menjamin hak mendapat informasi yang benar. Tetapi perlu dipahami, informasi yang benar belum tentu baik buat kemajuan rakyat itu sendiri. Beberapa negara menerapkan sensor terhadap pemberitaan, hal itu juga dilakukan pada masa orde baru. Mengorbankan kebebasan berpendapat dapat menciptakan situasi yang tenang untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, sebaliknya mengutamakan kebebasan berpendapat akan berakibat friksi dikalangan masayarakat jika dimuati kepentingan politik. Yang terjadi sesungguhnya saat ini banyak pengamat bayaran, tentu saja makin kritis kepada pemerintah menjadi makin menarik dan tentu juga bayarannya makin menarik.

Perseteruan antara Dipo Alam yang  katakanlah berlatar belakang bagaimana menciptakan situasi yang nyaman bagi rakyat Indonesia untuk membangun kehidupan, disisi lain media bertahan pada egonya yang tidak perlu memikirkan akibat dari pemberitaan, kekesalan Dipo Alam dijawab dengan kekesalan. Mestinya, keduanya harus membangun saling kesepahaman, ada yang lebih penting dari memikirkan egonya. Barangkali ini juga mewakili kondisi masyarakat kita saat ini yang berpegang pada kebenaran masing2. Yang menjadi pertanyaan kita, apakah demokratisasi Indonesia akan menghasilkan masyarakat yang saling cakar2an ?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline