Mungkin petani di era reformasi ini sudah mengerti haknya sebagai bagian dari bangsa Indonesia, sebagaimana umumnya dalam menyampaikan aspirasi agar mendapat perhatian, para petani ini mendatangi Istana Negara untuk menyampaikan tuntutannya. Sekitar 3.000 orang petani dari seluruh Indonesia mendatangi Istana Negara, menuntut pemerintah melakukan pembagian 9,6 juta hektar lahan pertanian yang dijanjikan pemerintah. Petani yang biasanya merupakan golongan bangsa Indonesia yang penurut agaknya sudah tidak berlaku lagi, seperti para pengunjuk rasa lainnya, dibeberapa daerah juga melakukan pengrusakan dan adu dorong dengan pihak keamanan.
Sektor pertanian ini sepertinya bukan menjadi sektor yang menjanjikan, sebab banyak lulusan perguruan tinggi yang mendalami bidang study ini lebih senang menjadi pedagang racun atau pedagang kendaraan bermotor. Ini akibat dari kebijakan pembangunan sektor pertanian yang berjalan ditempat sebagai imbas dari kesibukan pemerintah yang berkutat pada masalah urusan politik. Kebijakan sering tidak sinkron dengan pelaksanannya seperti seringnya terjadi kelangkaan pupuk yang selalu dicurigai adanya permaianan spekulan. Terjadinya permainan spekulan itu sesungguhnya akibat dari mogoknya produsen karena pembayarannya seret dari pemerintah. Harga produsen itu sebagian dibayar pemerintah sebagai bentuk subsidy kepada petani, tetapi pabrikan yang memodali. Programnya memang merakyat tetapi sering hanya slogan sehingga petani sering mengalami kerugian. Banyaknya racum tanaman yang beredar juga semakin membuat pola tanam tidak ramah lingkungan sehingga semakin menambah biaya produksi petani. Keadaan itu diperparah lagi dengan anjlognya harga pasca panen sebab petani banyak terikat dengan tengkulak yang membatu mengongkosi produksinya.
Kondisi sektor pertanian yang seperti itu, betulkah para petani tersebut menuntut lahan yang memang akan mereka gunakan ?. Mungkin saja mereka hanya menuntut tanahnya untuk diuangkan karena mendapat tanah tanpa modal kerja juga akan mengalami kesulitan mengolahnya. Tetapi jatah tetap jatah, itulah yang dituntut dan petani yang polos itu sekarang sudah pandai, akhirnya sampai juga ke Istana Negara untuk melakukan unjuk rasa. Petani polos bersahaja itu juga sekarang punya ongkos untuk berdemo. Prilaku bangsa kita semakin maju saja, tidak diberi jatah juga akan mengambil secara diam2, apalagi dijanjikan jatah.
Saat ini 7,3 juta hektar lahan terlantar, tetapi jangan salah, walaupun terlantar tetapi ada yang memiliki. lalu dari mana alokasi 9,6 juta hektar itu ?. Konversi tanah register hutan lindung ?. Mungkin sudah kalah cepat dengan Konsesi yang diberikan kepada pemodal besar baik yang mengincar bahan tambang maupun untuk perkebunan. Sementara petani Indonesia harus bersaing dengan investor asing yang lebih memilih mekanisasi ketimbang menggunakan tenaga manusia. Harus diakui, selama ini pembangunan di Indonesia bias ke sektor urban dan cenderung tidak dikembangkan ke sektor pertanian, terlebih dimusim mudik yang prioritasnya untuk kenyamanan pemudik yang orang kota juga.
Sektor pertanian akan menarik jika mampu memberikan kesejahteraan, tetapi untuk tujuan tersebut memerlukan rehabilitasi lahan dan perbaikan pola tanam untuk menekan biaya produksi. Sebetulnya program famili farming sudah mulai dilaksanakan sejak tahun 50 an ketika dilakukan demobilisasi TNI dimana pensipilan pasukan harus dicarikan lapangan kerja. Pada waktu itu Biro Rekontruksi Nasional (BRN) dibawah kementrian pertahanan mentransmigrasikan beberapa batalyon ke Wilayah Lampung, lagi2 kebijakan itu tidak sinkron dengan penetapan kawasan register hutan lindung sehingga walaupun sudah menghuni hampir 50 tahun, kepemilikan sebahagian dari mereka masih terkatung2. Yang jelas2 sudah dilaksanakan oleh pemerintah saja tidak tuntas, apalagi yang masih dalam rencana dan janji sementara yang memiliki modal kuat dapat memperoleh lahan dengan mudah.
Memang banyak gagasan untuk memajukan para petani kita, tetapi sikap petani juga banyak yang bermental manja tidak mau repot dalam pengolahan yang tentunya menekan nilai jual. Padahal, penanganan pasca panen tanaman holtikultura sangat penting untuk menghindari penekanan harga akibat permainan mutu oleh pedagang. Juga masalah transportasi yang sering menjadi kendala telah pula memperpanjang rantai komoditas perkebunan rakyat ini. Artinya, baik sektor tanaman pangan maupun holtikultura permasalahan petani bukan hanya pada aspek produksi tetapi aspek pasar akibat infrastruktur ekonomi masih pada prioritas mendukung para pemodal besar.
Seperti halnya tanaman cacao, tanaman ini tidak tumbuh di Eropa tetapi merk dagang terkenal produk olahan ini dimiliki oleh eropa. Disinilah potensi industri kita yang tidak sinkron sebagai negara agraris, masih belum beranjak jauh dari zaman kolonialisme. Hal ini bukan berarti pemerintah tidak punya kiprah, namun investasi sektor pertanian yang dilakukan pemerintah yang menggunakan pinjaman luar negeri terutama bendungan2 disamping karena faktor mark up, juga karena kurangnya konservasi hutan yang berakibat investasi ini tidak efisien. Kembali pada motto Asal Bapak Senang, data statistik dari bawah keatas yang makin bagus, katanya swasembada beras, tapi koq masih import ?.
Banyaknya perpindahan penduduk dari desa kekota, salah satu sebabnya adalah karena ingin lepas dari kemiskinan bagi kaum ndeso yang setengah berani, yang nekad juga banyak menjadi TKI Ilegal walaupun harus menjual lahannya karena beranggpan jadi petani tidak menjanjikan. Banyak memang petani yang berhasil, tapi itu ditopang sebagai pedagang. Anak petani saat ini jika ditanya, kebanyakan ogah jadi petani karena tidak mau bernasib seperti orang tuanya, miskin !.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H