Lihat ke Halaman Asli

Menanti Bubarnya NKRI.

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberhentikan paksa Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung RI. Pihak Istana merasa lega dengan  putusan MA terkait dengan  permohonan Yusril Ihza Mahendra dalam perkara uji materil UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI terhadap Pasal 1 ayat 3 dan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945. MK memutuskan Hendarman Supandji terhitung Rabu tanggal 22 September 2010 pukul 14.30 WIB bukan lagi Jaksa. Namun, Denny Indrayana, staff khusus Presiden dan juga  pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) itu menilai keputusan MK menegaskan bahwa masa jabatan Hendarman sebagai Jaksa Agung berakhir bersamaan dengan masa jabatan Presiden SBY pada 2014. Apakah ucapan staff khusus Presiden ini sebagai isyarat bahwa Hendarman Supandji tetap dipertahankan kedudukannya ?. Sebab kemungkinan itu sangat besar mengingat penjelasan ketua MK yang menyatakan bahwa tidak ada masalah dengan kedudukan Jaksa Agung, Presiden dapat menonaktifkan atau memperpanjang jabatan jaksa Agung,

Sementara itu, Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) akan menggalang penggunaan hak interpelasi alias hak bertanya DPR terkait legalitas Jaksa Agung Hendarman Supandji. Wakil Ketua Fraksi Hanura Syarifuddin Sudding mengatakan, pihaknya akan menjadi inisiator pengusul penggunaan hak interpelasi DPR guna meminta keterangan Presiden SBY. Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusron Ihza Mahendra meminta DPR menggunakan hak interpelasi guna meminta penjelasan Presiden SBY terkait status legalitas Hendarman Supandji sebagai jaksa agung.

Satu lagi kasus yang sebetulnya tidak ada kaitannya dengan politik pada akhirnya diarahkan keranah politik yang muaranya pemakzulan kedudukan presiden. Belum reda polemik bursa  calon Kapolri, kini polemik  baru mencuat kepermukaan membuat sibuk pemerintahan SBY. Betentangan dengan penjelasan staff khusus presiden, Yusril yang punya hajat hukum bersikukuh kedudukan jaksa agung tidak sah. Agaknya celah terus dicari untuk menyudutkan presiden SBY yang menjadi santapan berita menarik dikalangan media pemberitaan,  Namun polemik seperti terus menular, semua membuat opini, termasuk kalangan DPR. Masuk ke DPR muatan politisnya menjadi lain, akan ditumpangi kepentingan partai, apalagi kalau bukan untuk amannya kekuasaan menyikapi bola liar resufle kabinet dan kasus hukum yang melibatkan rombongan kader partai.

SBY adalah produk dari pemilihan presiden secara langsung, berbeda dengan pendahulunya yang dipilih oleh MPR. Demikian juga dengan anggota legislative yang menciptakan dua kubu kekuasaan  pilihan rakyat. Hubungan yang sulit untuk harmonis antara eksekutif dan legislatif bukan tidak disadari oleh SBY sehingga sejak awal SBY berusaha menghilangkan oposisi dengan uapayanya merangkul semua partai termasuk golkar yang merupakan rival dalam pilpres. Faktanya memang tidak ada oposisi, opisisi hanya stempel sebab partai berkoalisi bisa beroposisi seperti halnya dalam angket Century. Dalam system pemilihan seperti yang diterapkan saat ini, dua kubu pilihan rakyat akan terus bertarung yang dilatar belakangi kepentingan politik masing2. Jika dibandingkan dengan system yang dianut oleh Amerika Serikat yang hanya diikuti oleh dua partai, system yang dianut di Indonesia jauh lebih sulit diterapkan untuk mencapai satu kata. Sebab, dengan begitu banyak partai yang mempunyai perbedaan kepentingan, system di Indonesia lebih pada system kolektif. Walaupun undang2 mengatakan bahwa kabinet adalah hak prerogative presiden, tetapi celah untuk mengeliminir hak presiden itu tetap terbuka dengan mengganjal program pemerintah.  Tentu saja, ganjalan tersebut dapat menjadi kendala dalam menjalankan roda pemerintahan  dan hal ini akan menjadi peluang lagi untuk menjatuhkan Presiden melalui hak2 yang dimiliki oleh legislative.  Pemerintah hanya dapat berjalan apabila partai pendukung presiden mendapat suara mayoritas mutlak. Namun melihat prilaku politik bangsa ini yang seperti kutu loncat, kemungkinan untuk mendapat suara mayoritas cukup sulit sebab pemerintahan tidak dapat berjalan secara baik karena banyak ganjalan dari legislative yang mempunyai kepentingan tersendiri. Kedepan, negara ini akan terus mengalami kemunduran, sebab tidak berhasilnya pemerintah merupakan harapan  baik  untuk pihak yang belum mendapat giliran berkuasa dengan janji manis. Presiden berikutnya akan mengalami hal yang sama seperti yang dialami SBY, hanya mampu untuk bertahan hidup, tidak bubarnya NKRI adalah sebuah prestasi.

Mungkin inilah yang menjadi pemikiran SBY, belum ada figur pengganti yang mampu mempersatukan dua kubu pilihan rakyat, jika systemnya pemilihan umum tidak diperbaiki, maka kemungkinan besar dalam kurun waktu dua atau tiga periode presiden mendatang akan terjadi disintegrasi yang mengarah bubarnya NKRI. Kita lihat saja saat ini, hasil minyak tidak lagi dinikmati rakyat, rakyat harus membeli BBM dengan harga pasar. Demikian juga dengan kekayaan alam yang lain, modal asing mulai melakukan eksplorasi bahan tambang di areal hutan lindung yang selama ini tidak terjamah, eksplorasi dapat dilakukan karena ada restu pemerintah pusat. Akibat dari pengerukan hasil  kekayaan alam yang tidak dinikmati rakyat didaerah, tentunya  akan menimbulkan kecemburuan sosial yang memicu sparatisme.  Agaknya kita semua saat ini hanya dapat menunggu bubarnya NKRI, bukan datangnya kesejahteraan.

Kebebasan pers yang diagungkan tersebut mempunyai andil yang cukup besar dalam membangun situasi saling menjatuhkan. Seperti polemik pencalonan Kapolri yang sudah jelas mekanismenya, belum juga SBY mengambil putusan tetapi opini sudah dibentuk agar mengunci putusan SBY, tidak sesuai dengan opini yang dikembangkan akan menimbulkan polemik baru. Polemikpun menular dikalangan politisi yang terpancing oleh penggiringan opini. Keadaan akan terus berlangsung seperti itu dan media pemberitaan menjadi media politik praktis yang mempengaruhi gerakan rakyat. Rakyatpun tertular oleh gesekan2 media yang pada akhirnya energi habis untuk kisruh politik. Penekanan pada kebebasan tanpa kontrol justru akan berakibat fatal bagi bangsa ini. Sadar atau tidaknya, bahwa sesungguhnya negeri ini mengarah pada kehancuran akibat kebebasan versi media.  Penyusunan undang2 sering diwarnai oleh uang, undang2 anti tembakau juga ditengarai adanya permainan uang. Jika amandemen UUD yang sudah terjadi itu juga berbau uang, bukan tidak mungkin ada kepentingan negara lain untuk menghancurkan Indonesia melalui amandemen UUD tanpa referendum. Satu2nya cara untuk mencegah kehancuran negara ini adalah dengan melakukan refendum menilai kembali amandemen UUD 45.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline