[caption id="attachment_74472" align="alignright" width="167" caption="Mahfud MD"][/caption] Mahfud MD mengaku sepakat akan wacana pelarangan pernikahan siri dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Peradilan Agama agar tidak terdapat korban akibat pernikahan jenis tersebut. Pandangan Ketua MK ini sebelumnya juga selaras dengan pandangan Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin Tumpa, yang menyetujui adanya sanksi pidana bagi orang yang melakukan pernikahan siri dan pernikahan kontrak. Dalam RUU Peradilan Agama yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional 2010, terdapat ketentuan pidana antara lain terkait dengan perkawinan siri, perkawinan mutah (kontrak), dan menikahkan atau menjadi wali nikah padahal sebetulnya tidak berhak. Para pelaku yang melanggar ketentuan tersebut dapat diancam dengan hukuman penjara berkisar dari enam bulan hingga tiga tahun. Terlepas apakah RUU tersebut sesuai tidaknya dengan penafsiran agama, yang menjadi inti persoalan adalah biaya untuk pengurusan pernikahan. Sebagian besar masayarakat masih merasakan beratnya biaya yang dikenakan untuk pengurusan surat nikah itu. Undang2 yang diberlakukan pada intinya adalah untuk mengatur kehidupan sosial kemasyarakatan, namun dengan " mengkriminilisasi" pernikahan siri tersebut sudah seyogyanya pemerintah menghapus biaya administrasi berkenaan dengan biaya surat nikah. RUU tersebut, pada intinya untuk memaksa masyarakat mengikuti ketentuan dengan ancaman pidana, sebuah cara mencari sumber pemasukan baru. Sebab, selama ini birokrasi yang harus dilalui mulai dari RT, Kelurahan, Kecamatan sampai pada Kantor urusan Agama dalam pengurusan surat nikah semua membutuhkan uang. Birokrasi yang panjang inilah yang menyulitkan masyarakat sehingga sulit diikuti oleh masyarakat yang tidak mampu. Akibat negative dari perkawinan siri adalah kasus sedangkan perkawinan itu sendiri adalah niat. Niat tidak melanggar ketentuan agama maka terjadilah perkawinan secara agama. Pemerintah dalam hal ini yang mempunyai tanggung jawab kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat, dengan mengkriminilisasi perkawinan tersebut justru akan memberatkan masyarakat. Masyarakat yang tidak mampu, dianggap berbuat kriminal karena ketidak mampuannya itu sementara pemerintah yang bertanggung jawab mengangkat kesejahteraan masyarakat justru bertindak semakin memberatkan masyarakat. Kita saksikan, masyarakat masih berebut mendapatkan " angpau " , begitu juga dengan zakat dan Qurban, hal itu dapat kita lihat sebagai potret kemiskinan bangsa ini. Tentunya, undang2 yang dikeluarkan harus juga dipatuhi oleh masyarakat kelas ini. Dalam hal ini, sangat terlihat para penguasa negeri ini masih bersikap sebagai penguasa, penguasa dalam arti yang sebenar2nya, menguasai kehidupan rakyat tanpa melihat apa yang sudah diperbuat oleh para penguasa. Syah tidaknya sebuah perkawinan, masyarakat telah melakukan kontrol dengan sendirinya, masyarakat masih memegang norma dan etika dalam perkawinan. Tak perlu pemerintah turun tangan, perbuatan zina ditentang oleh masyarakat, diarak, digrebek sering dilakukan masyarakat terhadap pasangan yang dinilai melanggar norma. Jika pemerintah telah mampu mensejahterakan seluruh masyarakat, biaya yang dikenakan untuk pengurusan pernikahan tersebut tidaklah memberatkan. Namun, dilihat dari kemampuan pemerintah untuk mensejahterakan aparatnya saja masih belum tercapai, undang2 itu justru dapat menambah peluang untuk disalahgunakan sebagai sumber penghasilan baru bagi aparat pemerintah. Sebab, makin berat sangsi, biasanya makin berat ongkosnya bagi masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H