Lihat ke Halaman Asli

Sudah Terlanjur Banjir

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Air adalah kebutuhan dasar manusia namun air bisa menimbulkan malapetaka apabila tidak dapat dikendalikan.  Pemilihan pemukiman oleh manusia pada dasarnya pada pertimbangan utama baik untuk kehidupannya maupun untuk pengusahaan tanaman pangan. Sifat manusia yang secara insting menginginkan hidup berkomunal dan bersosialisasi pada awalnya memilih lokasi untuk menetap pada dataran rendah atau lembah. Perkembangan penduduk yang memerlukan lahan baru, lambat laun merambah kesekelingnya yang pada akhirnya mencakup dataran tinggi. Pertimbangan manusia memilih lokasi untuk menetap  pada awalnya selain berdasarkan pertimbangan kesediaan air juga berdasarkan kemudahan tranportasi seperti sungai atau laut. Perkembangan selanjutnya, hunian itu terus berkembah menjadi daerah perkotaan seperti saat ini. Perluasan pemukiman itu lambat laun menghilangkan keseimbangan alam yang antara lain hilangnya daya dukung daerah2 tertentu. Menghadapi keadaan tersebut pada akhirnya manusia menciptakan lingkungan untuk menyeimbangkan daya dukung lingkungan agar tidak terjadi malapetaka. Peledakan jumlah penduduk sering tidak berimbang dengan penyeimbangan daya dukung buatan. Dataran tinggi yang semula berfungsi sebagai penahan air telah banyak berubah sebagai pemukiman sehingga fungsinya lambat laun tidak optimal lagi. Demikian juga dataran rendah sebagai catchment area atau daerah tangkapan air menjadi daerah yang tak mampu menampung air yang tidak tertahan dari dataran tinggi. Banjir pada akhirnya akan menjadi problem. Akibat dari banjir pada daerah pemukiaman, bukan saja mengakibatkan kerugian harta benda tetapi juga pada kesehatan lingkungan. Tak terbayang segala kotoran dan sampah bercampur sebagai sebuah adonan yang merupakan sumber penyakit yang mengganggu kesehatan manusia. Di Jakarta, sepanjang bantaran kali ciliwung yang membelah kota Jakarta adalah daerah pemukiman yang padat dan kumuh. Padat dan kumuh karena daerah tersebut yang harusnya menjadi green belt juga dirambah untuk kebutuhan pemukiman. Pendudukan yang sudah terlanjur, sepanjang aliran sungai menjadi slum area yang sudah sulit dibersihakan. Pembangunan banjir kanal sesungguhnya sama  konsekwensinya dengan pembersihan bantaran kali ciliwung yaitu penggusuran pemukiman. Namun apakah proyek banjir kanal tersebut lebih prioritas dibandingkan dengan pembersihan bantar kali ciliwung, tentunya skala prioritas pembangunan itu tergantung dari pola pikir perencana pemerintah. Organisasi pemerintahan yang ada saat ini masih sulit untuk menciptakan penanganan kota yang terpadu. Transportasi network planing misalnya, menjadi pemikiran Dinas Perhubungan, pembangunan infrastruktur perkotaan ter-pecah2 penanganannya oleh Dinas PU Bina Marga, Cipta Karya dan Pengairan, pengaturan tata ruang kota menjadi pekrjaan dinas tata kota.  Bappeda sebagai think tank perencanaan daerah masih berorientasi pada pengumpulan anggaran. Dengan organisasi yang ada saat ini, tumpang tindih pelaksanaan pembangunan masih sering kita lihat, " maaf ada pekerjaab galian kabel PLN, PDAM, Telkom, Gorong2 ", maaf 2 seperti itu sering kita jumpai yang pada akhirnya menciptakan kesemrawutan pembangunan. Sesungguhnya, sejalan dengan pemberlakuan otonomi daerah, daerah dapat saja membentuk badan koordinasi pembangunan perkotaan yang mensinerginakan dinas tehnis yang fungsinya untuk melaukan koordinasi pembangunan untuk menghindarkan pelaksanaan yang tumpang tindih. Namun kembali pada sikap aparatur pemerintahan yang mengganggap proyek adalah sebuah berkah, maka banjir dan kumuh sulit dihilangkan. Cukup lama berkecimpung dalam perencanaan perkotaan, seolah sudah terlanjur, tambal sulam dan kemacetan mulai merambah kemana2. Pertumbuhan kendaraan tidak dapat diikuti oleh pembangunan jalan yang akhirnya pengguna yang harus diatur. Pengaturan penggunaan jalan bukan tidak menimbulkan masalah sebab akalpun dipakai untuk mensiasati pengaturan. Belum lagi masalah urbanisasi karena masih banyak terjadi kesenjangan sosial antara penduduk perkotaan dan daerah pedesaan. Mungkin perlu dipikirkan perlunya memfokuskan pembangunan ekonomi yang berbasis pertanian dengan memprioritaskan pembangunan infrastruktur yang memadai. Buruknya infrastruktur nadi ekonomi menjadikan banyak wilayah yang tidak tergarap, jika terbangun dan tergarap  akan muncul persoalan sengketa lahan yang juga menimbulkan kerawanan sosial karena lemahnya penegakan hukum. Banyak yang mengatur, makin banyak yang tidak terukur. Sebuah sukses pemerintah yang diukur dari data statistik, data statistik yang sering asal boss suka untuk pertanggungan jawab kekuasaan. Ketika negeri ini dinyatakan swasembada beras, ternyata masih ada bangsa ini yang makan nasi aking, makan gaplek. Banjir, gempa bumi, kemiskinan masih akan akrab dengan bangsa ini, ada yang mengatur dan ada yang diatur mestinya banjir itu dapat dihilangkan apabila semua bisa diatur. Demikian juga kemiskinan, sudah miskin terendam banjir pula, berdiri dipinggir jalan adalah cara meminta sumbangan pengguna jalan adalah pemandangan yang biasa kita saksikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline