Lihat ke Halaman Asli

Gadis Kuburan

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rembulan begitu indah menyeruak di balik rimbun pohon kamboja. Aku habiskan bersama teman-teman. Berjejer nisan berbentuk salip putih dan jajaran rumput bersih membentang indah rapi. Di sebelah makam terdapat tempat duduk yang nyaman untuk sekedar duduk bercanda berkeluh kesah. Sudah pasti aroma kamboja semerbak memenuhi nafas kita

“Eh… enak ya nongkrong di makam ini sepi”

“kalau malam minggu makam ini ramai di penuhi orang lagi nongkrong dan pastinya pacaran”

“Pacaran? Buset… kagak ada tempat yang nyaman ape selain makam. Pada gile tu orang menjalin kasih di kuburan”

“Ari..! liat tuh da cewek duduk di pojokan”

“Mane Rud?”

“Tuh… di pinggir semak liat gak lu? Ape gue aje yak yang liat?”

“Eh… iye gue liat”

“Manusia bukan ya itu?”

“Ih…merinding gue, lu aja yang mastiin die manusia ato sundel”

“badan keker kayak gitu takut, oke gue pastiin”

Gue ambil motor dan pura-pura lewat di belakangnya karena tempat duduk gadis itu di pinggir jalan dan tatapannya mengahadap ke makam, tidak ada gerakan dan hanya sendiri, padahal waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan bukan malam minggu tapi malam jumat.

Saat aku lewat belakangnya menggunakan motorpun dia tidak menoleh. Tapi aku bisa memastikan kalau gadis itu memang manusia. Karena sorot lampu pinggir jalan membentuk bayangan tempatnya duduk.

“Cewek bener, bukan sundel Rud”

“kok lu bisa tau?”

“Tu di bawah lampu die punya bayangan, sudah tentu die manusia kan gitu”

“teori dari mana tuh, kali aja tadi bayangan semak”

“yaelah, gue nonton di tipi-tipi kalau setan tu kagak punya bayangan”

“ih…. Kebanyakan nonton tipi lu! Tapi Ar.. kenapa ya dia disitu sendirian”

“Gak ngerti lah… ini kan malam jumat apa mungkin dia nyari susuk atau pesugihan?”

“mungkin aja seh… kita pergi aja yuk, merinding neh bentar lagi pukul dua belas, setan-setan pada nyari mangsa. Gue kagak mau ahhh ntar jadi tumbalnya die nyari pesugihan”

Aku dan temanku memutuskan untuk meninggalkan makam tersebut. Sebelum aku memacu motorku, ku lihat sebentar gadis itu. Dia menyalakan rokok dan mulai memandang makam itu lagi. Serasa bercerita dengan matanya pada penghuni puluhan sosok yang terbaring disana.

Dari segi penampilan tidak terlihat dia seperti artis atau penyanyi dangdut yang mencari pengasihan atau susuk. Penampilannya sederhana, hanya kaos oblong, jaket dan celana jeans sobek menenteng ransel di sampingnya. Aku sangat penasaran apa yang dia lakukan disini. Dan aku ingin mencari tahu kemudian hari lagi jika bertemu dia.

Hari ini malam minggu, apakah dia disana juga? Entahlah aku dan temanku juga penasaran dengan gadis itu. Kita memutuskan untuk kembali ke makam yang sama.

“ gadis itu nongol lagi gak Ar”

“Gak ngerti noh, nanti coba kita cek”

Aku telusur semua sisi kuburan Belanda ini dengan motor dan mata temanku yang membonceng pun tidak kalah aksi, dia tengok kanan kiri mencari gadis yang kita lihat tempo hari.

“Ah..sepi yang ada cuman orang ciuman”

“Mate lu tu Rud, kalo adegan Porn gitu awas banget”

“hihihi… ngeri juga ya, pacaran di kuburan pa kagak takut kesambet tuh..hiiii”

“woi…yang kite investigasi tu gadis itu bukan investigasi gaya pacaran.tolol”

“iye santé aja Bro… ngebet banget seh ketemu tu cewek”

Waktu sudah menunjukkan pukul 12 dan kita belum menemuka sosok gadis tersebut, perlahan-lahan anak-anak muda yang nongkrong telah pergi satu persatu. Perlahan ada seseorang dengan celana jeans bolong, kaos dan ransel datang mendekati pintu kuburan, tempat dimana dia biasanya duduk.

“Noh…liet tu mate lu, die datang cing, tapi die beneran manusia lho… nginjek tanah tu kaki”

“gue tau kok, gue kagak buta”

Kita beranikan diri untuk mendekati gadis itu. Wajahnya biasa saja, tidak cantik, kurus berambut pajang. Matanya terlihat sayu redup seperti mayat hidup. Sorot lampu membuat wajahnya agak tertutup baying rambut. Wanita ini berusia sekitar dua puluhan.

“Neng… sendirian ya? Sahutan Rudi tidak ditanggapi

“aku tahu kalian mengamatiku kemarin” jawabnya datar sambil menatap lurus

“Maaf, kita bukan bermaksud ingin mengganggu anda, kita hanya was-was anda sendirian disni apa tidak takut dirampok atau gimana gitu?” jelasku tertatih

“Sudah biasa, kenapa kalian mau menemani?”

“Boleh-boleh jika diijinkan Neng” jawab Rudi nerocos

“kenalkan nama saya Rudi, ini temanku Ari”

Dia tersenyum ramah tanpa memberitahukan namanya, dia ulurkan tangan kecilnya, kurus dan ada bekas infus yang di plester di tangan kirinya

“Panggil aku Dian saja”

Kita berharap dia akan memulai pembicaraan kenapa dia menatap makam itu, tapi kita harus gigit jari. Setelah hampir satu jam dia hanya diam memandang lurus dengan paras yang tidak berubah. Datar dan tidak bergerak. Akhirnya, dia pamit dan ingin pulang. Tidak mau diantar, dia berjalan lemas menuju jalan perumahan dekat makam. Semakin lama bayangnya hilang tertelan gelap. Kita berdua hanya diam dan merasa sangat aneh dengan gadis tersebut.

*

“Apa Rudi kecelakaan?”

Langsung aku tutup ponsel dan langsung mengambil motor ke Cipto. Tadi siang Rudi bilang dia mau pergi dan mengajakku tapi aku tidak mau, akhirnya dia berangkat sendiri kesana. Langsung aku menuju pusat informasi dimana Rudi di rawat.

Dari kejauhan aku terperangah melihat gadis yang tempo hari aku lihat, tapi gadis itu tidak sendirian dia ditemani dengan wanita separuh baya mungkin ibunya atau tantenya. Dia hanya duduk terdiam diatas kursi roda dengan baju khas rumah sakit.

“Dian”

“Eh… Ari kenapa di sini?”

“Rudi kecelakaan.”

“benar kah? Dia dirawat diruang apa?”

“belum tahu juga”

“kamu susul Rudi dulu nanti kita bertemu disini, di depan loket bank darah”

Aku langsung berlari keruang yang ditunjukkan oleh suster dan segera ingin mengetahui keadaan Rudi. AKucemas dengan sahabat yang paling ceroboh didunia itu, sudah beberapa kali dia jatuh dari motor.

Aku memasuki ruangan Rudi, dia sedang tidur dengan kaki di gips dan tidak terlihat sakit. Dia bercanda dan bercerita dengan papa dan mamanya.

“Woi… lu tu ye, bikin spot jantung aje”

“Hehe.. Maap Bro, gue juga kagak tau kenapa tu motor bisa nyusruk di selokan”

“udah tau jalan aja gak seimbang nyusruk gitu apa lagi naek motor”

“sialan lu, bener-bener gue dapet sial, padahal gue dah lihai naek motor”

“Eh.. Rud, gue tadi ketemu si Dian?”

“Dian yang bodi montok anak komplek sebelah?”

“Ah.. Dian si cewek kuburan”

“OO..kirain Dian yang itu, emang kenapa Dian?”

“Gue ketemu di ruang informasi tadi terus gue disuruh nyamperin die lagi. Tapi keadaan die kayaknya sakit pake kursi roda, infuse dan pucet banget”

“Yaudah lu kesono aje ntar balik sini.”

Aku langsung bergegas ke bank darah yang dia tunjukkan, Dian duduk diantara kursis berjejer, dia duduk disamping karena dia menggunakan kursi roda, terlihat dia sedang bercakap-cakap dengan wanita separuh baya itu.

“Dian”

“eh Ari, kenalkan ini tanteku”

“Sinta”

“Ari, tante”

“Temannya bagaimana tadi?”

“Gak apa-apa tante, dia hanya keseleo”

“anak sekarang tuh aneh-aneh saja”

Nama Dian pun di panggil, tante Sinta pergi mengambil sekantong darah yang sudah mereka antri.

“Dian, emang kamu sakit apa”

“Gak apa-apa kok, hanya sakit ringan”

Aku dorong kursi rodanya menuju lift karena kita akan menuju lantai tiga di ruang tranfusi. Akhirnya dia masuk . Aku dan tante Sinta menunggu di luar. Aku terkaget karena tiba-tiba tante Sinta menangis setelah keluar meninggalkan Dian

“aku tidak tega Ri ngeliat Dian seperti itu”

“emang Dian sakit apa tante?”

“kamu belum tahu? Kirain kamu sudah mengenal lama Dian”

“Kita baru saja bertemu kok tante, emang kenapa dia?”

“Dian sakit leukemia, semakin hari kesehatanya semakin parah”

“Tapi aku sering lihat Dian di kompleks kuburan duduk sendiri dan dia kuat jalan”

“Iya dia sering kesitu, padahal tante sudah melarangnya tapi dia tetep disitu”

“Memang kenapa dia sering disana”

“Katanya makam itu membuat hatinya tenang, dia bertegur sapa dengan orang yang telah tertidur katanya karena tidak lama lagi dia akan bersama mereka. Dia juga tidak suka diperlakukan seperti orang sakit,”

“otangtua Dian dimana tante?”

“dikampung, karena kalau di kampung dia tidak bisa mendapatkan pengobatan intensif, jadi dia tinggal dengan tante di Jakarta”

Aku hanya bisa diam membayangkan gadis itu sakit dan kesepian. Aku merasa kasihan dengan Dian. Setelah hari ini aku semakin hari semakin dekat dengannya dan sejak saat itu tidak pernah didapati Dian memandang makam sendirian, karena dia sekarang bersamaku.

Kutipan puisi Dian

Hanya aku sendiri bersama makam

Tapi ku tak sendiri, disana ada temanku

Tapi mata mereka tak melihatnya

Ku bertegur sapa disini

Ku tanya mereka, "lukiskan yang disana"

"Dingin, bau tanah, bau bangkai" jawab mereka

Sepi kah? tanyaku

Hening... mereka tidak menjawab

Apakah sepi disana seperti sepiku di makam ini

Sendiri

*hanya kamu yang mampu membuatku menulis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline