Sebagai manusia yang hidup di zaman serba digital ini, tentunya memerlukan kesiapan mental dalam menghadapi halang rintang ketika berselancar di dunia digital. Terlebih, zona digital seperti media sosial sudah menjadi wadah komunikasi yang sangat transparan.
Wadah transparan yang berarti terbuka dengan beberapa tujuan. Seperti tempat untuk mencari validasi (pengakuan), wadah untuk unjuk diri (seperti pemanfaatan media sosial sebagai portfolio space), dan tempat untuk aktualisasi diri.
Media ini tak terlepas dari penampilan, terkhususnya kecantikan. Adanya media sosial sebagai wadah aktualisasi diri menjadikan kecantikan sebagai hal yang wajib diketahui oleh banyak orang. Tentunya dengan berbagai cara, misalnya instastory update.
Fenomena ini kerap kali menciptakan panggung sosial untuk mereka yang ingin unjuk kecantikan. Perilaku selfie semakin mendorong para muda-mudi (terkhususnya perempuan) untuk show off secara terang-terangan. (Stefanoe, Lackaff, & Rosen, 2011).
Banyaknya perilaku show off di media sosial terkadang menciptakan garis standar tersendiri terhadap kecantikan, meskipun standarisasi ini tidak berdasarkan indikator tertentu. Timbullah masalah baru ketika lahirnya standar kecantikan pada media sosial, yaitu adanya rasa kehilangan percaya diri pada beberapa individu tertentu.
Lahirnya beauty standard yang disebabkan oleh penggunaan media sosial, berakibat pada hilangnya/menurunnya self-esteem pada mereka yang merasa kurang cantik. Standar kecantikan menciptakan garis timpang yang jelas terutama pada media sosial. Meskipun bersifat relatif, kecantikan seakan memiliki indikator tertentu sehingga (seperti) adanya perempuan yang tidak cantik.
Ada beberapa hal yang seakan-akan menjadi indikator kecantikan seseorang, terkhususnya pada media sosial seperti Instagram. Beberapa hal tersebut ialah modernitas, sensualitas, religiusitas, dan budaya lokalitas (Aprilita, 2016).
Padahal, kecantikan tidak terbatas pada penampilan fisik yang terlihat jelas pada seseorang. Adanya kelebihan dan kekurangan pada masing-masing individu seharusnya bisa mencegah adanya timpang standar kecantikan.
Dalam pengartian lain, adanya perilaku show off di media sosial tidak seharusnya menjatuhkan self-esteem pada muda-mudi (terkhususnya perempuan). Karena rasa percaya diri juga bisa hadir dari berbagai hal, seperti intelektual, kecerdasan, ketangkasan, kreativitas, dan lain sebagainya.
Nyatanya, transformasi budaya berdigital menjadikan flexing sebagai hal yang wajar dan tak boleh terlewatkan. Dan flexing disini tidak terbatas oleh segi materi yang terlihat seperti uang, kekayaan, asset, dan lainnya. Namun juga sudah menjorok perlahan ke kecantikan.
Budaya flexing ini semakin menodai representasi kecantikan. Peristiwa ini menyebabkan semakin hilangnya rasa percaya diri seorang perempuan. Tak hanya itu, beberapa dari perempuan juga semakin tertutup karena menurunnya self-esteem. Dalam makna lain, standarisasi kecantikan yang tidak memiliki dasar ini menyebabkan hilangnya self-esteem dan self-disclosure.